• Posted by : Chachacino Selasa, 15 November 2016



     
    Judul               : Habis Gelap Terbitkah Terang ?
    Pengarang       : Gandung Ismanto
    Penerbit           : Gong Publishing

    BAB I
    RESUME

    BAGIAN 1 : GELIAT BANTEN MEMBANGUN
    A.  Kado Dasarwasa Provinsi Banten (Sebuah Refleksi)
    1.      Pendahuluan
    Tak terasa, bulan Oktober tahun ini (2010) Banten akan memasuki usianya yang kesepuluh sejak dibentuk pada tanggal 17 Oktober 2010 lalu. Selama satu dasawarsa itu, Banten mengalami dua periode kepemerintahan, ditambah dengan satu pemerintahan transisi pasca terbentuknya provinsi bantencukup banyak kemajuan yang telah dicapai sepanjang satu dasawarsa perjalanan provinsi ini. Kendati, tak menutup kemungkinan bahwa tak ditemui kekurangan dan kelemahannya. Refleksi adalah cara bijaksana guna melihat capaian-capaian, masalah dan kelemahan-kelemahan tersebut secara obyektif sehingga dapat diurai dan ditemukan jalan kelua ryang lebih substansial di masa mendatang.

    2.      Banten Hari ini
    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sejumlah indikator makro menunjukkan perubahan yang lebih baik dibandingkan dengan keadaan Banten sepuluh tahun yang lalu. Misalnya Angka kemiskinan telah turun secara signifikan dari angka 9,22 (di tahun 2002) menjadi 7,64 (tahun 2009), Angka buta huruf menurun, IPM pun meningkat dari angka 66,6 (2002) menjadi 69,8 (2009). Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) juga mengalami peningkatan sangat progresif dari hanya 73,7 triliun pada tahun 2004 menjadi 12,5 triliun pada tahun 2008, begitu juga dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tercatat sebagai perubahan kenaikan paling progresif dari sebesar 212,8 miliar di tahun 2002 menjadi 1,9 triliun pada tahun 2009. Tanda- tanda kemajuan juga nampak dari sejumlah perubahan yang terjadi seperti : bertambahnya 2 daerah otonom baru, yaitu Kota Serang (2007) dan Kota Tangerang Selatan (2008), berhasilnya Provinsi Banten menyelenggarakan even nasional Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), penyelesaian kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten, dan masih banyak lagi. Sejumlah kemajuan tersebut adalah sinyakl positif adanya geliat pembangunan daerah yang terus menuju ke arah perubahan yang lebih baik. Kendati demikian, masih banyak kekurangan yang belum diatasi sepanjang satu dasawarsa terakhir. Masi ada pekerjaan rumah yang belum tertanangi dengan baik, pekerjaan rumah yang justru menjadi  core problem dan common platform. Apakah pekerjaan rumah tersebut? Ya, persoalan disparitas utara-selatan, kemiskinan, pengangguran, kebodohan dan ketertinggalan, serta buruknya infrastruktur wilayah yang masih menjadi icon permasalahn di Banten.
    3.      Perbandingan Yang Adil
    Jika membandingkan Provinsi Banten dengan provinsi lain yang telah lama berdiri dan jauh lebih maju tentu tidak fair. Perbandingan yang adil dan bisa diterapkan pada keseluruhan aspek yang diharapkan masyarakat adalah membandingkan Banten dengan provinsi yang seusia dengan dirinya, oleh karena itu jika Banten disandingkan dengan Provinsi Gorontalo dan Bangka Belitung nampaknya lebih dapat diterima. Setelah dibandingkan dengan provinsi seusia dengan Banten. Indikator resmi yang paling relevan untuk dibandingkan adalah  Indeks Pembangunan Manusia (IPM) karena hal ini direpresentasi oleh tiga indikator utamanya, yaitu : derajat kesehatan masyarakat yang diindikasi oleh angka harapan hidup, derajat pendidikan masyarakat yang diindikasi oleh rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf, serta kesejahteraan masyarakat yang diindikasi oleh daya ekonomi beli masyarakat. Kemajuan yang dicapai oleh banten hari ini terasa sangat tidak optimal. IPM misalnya, Banten yang pada tahun 2002 berada pada tingkat 11 nasional dengan IPM 66,6 justru saat ini terpuruk pada peringkat 21 dengan IPM 69,8 (2009). Berbeda dengan Bangka Belitung yang justru mengalami progress IPM yang baik, di tahun 2002 berada di peringkat 20, justru kini berhasil menempati 10 besar. Begitu pun Gorontalo, kendati tidak lebih baik dari Banten namun menunjukan pencapaian yang konsisten dan menjanjikan walaupun sempat turun pada peringkat 28 pada tahun 2004 tetapi secara agregat, sejak tahun 2002 Banten hanya mampu meningkatkan IPM-nya sebesar 3,1 poin, jauh dibawah Gorontalo yang mencapai 5,19 poin, apalagi dengan Bangka Belitung yang mencapai 6,79 poin.

    Dalam pengentasan kemiskinan, menekan angka pengangguran, laju Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju pertumbuhan ekonomi banten justru menunjukkan gejala yang tidak memuaskan dan cenderung kalah saing dengan kedua provinsi yang seusia dengan Banten. Fakta-fakta tersebuut akan makin memprihatinkan bila kondisi Banten dikaitkan kembali dengan kenyataan lainyang lebih mengkhawatirkan misal : masih tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, infrastruktur jalan di wilayah selatan yang sangat parah seta arah pembangunan distortif oleh sejumlah proyek mercusuar atau proyek pesanan yang mucul “tiba-tiba”

    Sekelumit data tersebut tidak mampu merepresentasi wajah Banten di usianya yang kesepuluh. Sebuah wajah yang masih menggambarkan harap-harap cemas. Harap, karena Banten memang penuh dengan segala potensi yang dapat dimanfaatkan guna mengentaskan keseluruhan permasalahan yang telah disebutkan, dan cemas karena langkah demi langkah kemajuan itu sepertinya terasa berat, lamban dan cenderung distortif.

    B.  Di Balik Revisi RPJMD Banten 2007 - 2012
    Adanya wacana revisi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Banten tahun 2007-2012 telah menyedot perhatian publik pada awala 2009 lalu. Sebagai sebuah dokumen strategis, RPJMD haruslah mempertimbangkan keseluruhan kompleks variabel yang bekerja dalam kurun waktu lima tahun, sehingga RPJMD benar-benar dapat menjadi guidance book yang dapat dipercaya dalam melihat arah pembangunan di suatu daerah. Presentase sejumlah indikator pembangunan seperti Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) sebelumnya ditargetkan  sebesar 6,97% justru diturunkan menjadi 4,57% pada tahun 2009, LPE 2010 sebelumnya ditargetkan sebesar 7,31% turun menjadi 5,59%, LPE 2011 yangg sebelumnya ditargetkan 7,64% diturunkan menjadi 6%. Kemudian penurunan indikator pembangunan ini pun terjadi pada jumlah penduduk miskin, pengangguran serta capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Diturunkannya sejumlah indikator makro yang bersifat strategis ini tentu mengundang sejumlah tanda Tanya, ada kepentingan apakah yang memaksa dilakukannya perubahan ini?. Revisis RPJMD sebenarnya bukan soal boleh atau tidak, karena memang tidak ada aturan manapun yang melarangnya. Sebagaiman dilansir di sejumlah media, ada tiga faktor yang mendorong pemerintah melakukan revisi RPJMD yaitu : krisis keuangan global yang memaksa pemerintah merasionalkan asumsi, sinkronisasi perundang-undangan yang ada dengan sejumlah perundang-undangan yang baru lahir belakangan, dan perubahan wilayah administrative kanupaten/kota di Provinsi Banten, dimana telah bertambah dua daerah otonom baru yaitu Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan. Lalu realistiskah revisi RPJMD yang dilakukan pemerintah daerah Banten. berdasarkan pasal 150 UU No.32/2004, substansi RPJMD haruslah mengacu pada RPJP dan RPJMN karena RPJMD bukanlah dokumen perencanaan yang berdiri sendiri, ia adalah bagian utuh dari RPJPD, RPJPN dan RPJMN yang berfungsi sebagai alat untuk mengejawantahkan ketiga dokumen perencanaan diatas tersebut. Kemudian, mungkinkah RPJMD direvisi sementara RPJPD, RPJPN, dan RPJMN yang menjadi acuannya tidak berubah?. Maksudnya, berdasarkan logika bahwa RPJMD sebagai dokumen perencanaan paling bawah diantara dari RPJPD, RPJPN dan RPJMN maka RPJMD baru dapat diubah jika ketiganya mengalami perubahan. Nampaknya kita harus jujur mengakui bahwa tidak semua perubahan yang diinisiasi itu dipengaruhi oleh krisis global, karena ternyata fakta yang terjadi saat dua tahun sebelum krisis terjadi pemerintah provinsi juga tidak pernah mencapai target LPE yang sudah diteapkan dalam RPJMD. Kita pun harus mengakui bahwa angka pengangguran dan kemiskinan kita tidak banyak secara signifikan berkurang, justru di tengah ironi di satu sisi PAD kita selalu meningkat signifikan. Dengan demikian pemerintah provinsiakan terlepas dari sejumlah kecurigaan masyarakat akan adanya motif politi dan ekonomi tertentu berupa proyek-proyek pesanan yang dititipkan dalam revisi RPJMD tersebut. Satu hal penting yang nampaknya perlu menjadi refleksi bersama bahwa di tengah daerah lain dan Negara lain berlomba untuk menjadi Cheaper, Better, Faster and Newer dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan public, kita justru bersemangat untuk menjadi lebih mahal, lebih buruk, lebih lamban dan lebih mundur.

    C.  Memahami Polemik Bantuan Keuangan Provinsi
    Terdapat beberapa keprihatinan dari polemic tersebut. Pertama, masalah grants itu telah sangat lama menjadi polemik, kira-kira sejak awal periode banten sebagai provinsi. Polemik ini seolah menjadi kutukan karena terus menerus menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. Disebut kutukan karena seolah merepresentasika perihal beberapa bagian dari perseteruan antarelite dalam sejarah pembentukan Provinsi Banten bahkan hingga saat ini. Disparitas Utara-Selatan misalnya, secara faktualmasih menjadi masalah nyata yang turut melatari perseteruan tentang bantuan keuangan tersebut. Polemic ini pun mencerminkan ketidakmampuan provinsiuntuk berempati terhadap problematika mendasar yang dihadapi oleh kabupaten/kota yang notabene-nya merupakan bagian integral dari eksistensi wilayah Provinsi Banten. problem Lebak dan pandeglang misalnya yang masih menjadi sentra kemiskinan, keterbelakangan dan ketertinggalan dalam perspektif Human Development Index-nya. Oleh karenanya Gubernur perlu membuka mata dan merendahkan hati untuk melihat problematika dan harapan kabupaten/kota. Sementara kabupaten/kota pun perlu lebih realistis memposisikan dirinya dalam kontes hak dan kewenangan provinsi dalam memberikan grants tersebut.
    D.    Memahami Problematika Banten
    Bicara soal problematika yang dihadapi banten memang seperti hendak mengurai benang kusut.siapapun yang mendengar Banten nyaris pasti mengidentikkannya dengan stigma : kekerasan, keterbelakangan, kebodohan dan KKN yang merajalela. Disamping stigma positif, seperti : kepatuhan pada ulama, masyarakat religius, bahkan negeri seribu pesantren. Riset yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) misalnya, menyebutkan sejumlah indicator yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa Banten tengah bergerak kea rah bad governance bukan good governance. Riset pun menyebutkan bahwa partai politik dan asosiasi pengusaha local sebagai institusi yang paling tidak dipercaya oleh masyarakat. Beberapa isu public yang sempat mengemuka pun berbanding lurus dengan hasil riset tersebut. Terdapat total kerugian Negara sebesar86,2 M hingga tahun 2005, yang idalamnya termasuk kasus-kasus menonjol seperti pembangunan KP3B, gedung Badan Diklat, gedung SMA Unggulan, dan gedung Mapolda yang semuanya bermasalah: pengadaan alat scanner 3 dimensi di RS Tangerang dan rontgen ortopedi di RS Malingping yang tidak didasarkan pada kebutuhan: Pembangunan Rangkasbitung – Tigaraksa yang buruk: belum termasuk beberapa kasus terkini seperti hilangnya APBD senilai Rp 13 M, pembangunan jalan Serang-Palima yang diduga bermasalah maupun gedung DPRD Banten yang sempat bermasalah.
    Siapapun Gubernurnya memang tidak akan mudah menyelesaikan keseluruhan masalah di Banten yang sudah sangat patologis : kronis dan akut. Terdapat 7 isu fundamental pembangunan daerah yang dihadapi Banten di awl pemerintahan Ibu Atut dan Bapak Masduki saat ini, yaitu : masalah penanganan kemiskinan, kesehatan dasar, pendidikan, perekomomian daerah, saran dan prasarana wilayah, pengelolaan SDA dan LH serta kepemimpinan Daerah.
    Fakta-fakta diatas merupakan sejumlah persoalan mendasar yang menjadi wajah dan sekaligus tantangan BAnten di awal kepemimpinanGubernur dan Wakil Gubernur baru hasil Pilkada 2006. Lebih sekedar kerja kerad yang dibutuhkan, Namun kerja cerdas dengan mengoptimalkan potensi stakeholder pembangunan daerah, tanpa terjebak pada kepentingan politik apalagi terkait politik “balas budi” kelompok-kelompok pendkung selama pilkada. Bila itu terjadi sudah pasti kepentingan rakyat akan selalu dianak-tirikan.

    E.     Masalah dan solusi Pembangunan di Provinsi Banten
    Pada proses pernecanaan, secara umum ditemukan fakta rendahnya mutu perencanaan yang indikasinya nampak pada beberapa fakta sebagai berkut:
    1.         Perencanaan belum berorientasi pada analisis kebutuhan riil pengguna dan karakteristik wilayah
    2.         Koordinasi dan kerjasama dengan Kabupaten/Kota dalam proses perencanaan belum optimal
    3.         Pelaksanaan perencana tidak dilakukan oleh orang atau lembaga yang bprofesional dan berkompeten, karena seringkali hanya dilakukan oleh oknim apartur terkait dengan memanfaatkan bendera lembaga yang bergerak di bidang terkait.
    4.         Biaya perencanaan yang besar tidak sebanding dengan kualitas dokumen perencanaan yang dihasilkan, dan
    5.         Perencanaan kegiatan seringkali sarat dengan vested interest untuk mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu
    Beberapa fakta berikut paling tidak mewakili kelima kelemahan sebagaimana tersebut di at, yaitu : pengadaan scanner tiga dimensi di RS Tangeran dan Rontgen ortopedi di RS Malingping yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas yang dimiliki RS tersebut(2005), gedung SMA Cahaya MAdani Banten Boarding School (CMBBS) (2004-2005), pembangunan jalan Rangkasbitung-Tigaraksa yang kualitasnya sangat buruk sehingga belum enam bulan sudah mengalami kerusakan yang cukup parah (2005), dll
    Pada proses impelementasi, secara umum masih ditemukan fakta-fakta memprihatinkan antara lain :
    1.    Rendahnya mutu pelaksanaa dan hasil pekerjaan
    2.    Belum optimalnya koordinasi dengan Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan pekerjaan
    3.    Tidak berjalannya fungsi pengawasan sehingga ketidaksesuaian pelaksanaan pekerjaan dengan rencana pekerjaan tidak dapat terdeteksi secara dini. Pada beberapa kasus bahkan ditemukan pihak ketiga pengawas, sehingga pengawasan menjadi tidak efektif.
    Sementara pada proses evaluasi secara umum masih ditemukan fakta-fakta, seperti :
    1.    Tidak optimalnya fungsi monitoring dan evaluasi
    2.    Tidak komprehensifnya pengukuran kinerja pelaksanaan kegiatan, yang mencakup aspek efisiensi dan efektifitas proyek
    3.    Tidak berfungsinya hasil evaluasi sebagai bahan umpan balik, bagi proses perencanaan berikutnya.

    Pembangunan daerah harus diyakini bukan merupakan proses yang terpisah dari proses pembangunan nasional, melainkan saling terkait dan bahkan saling bergantung. UU Nomor 32 Tahun 2004 sesungguhnya telah memberikan peluang kepada daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat dalam peningkatan daya saing daerah. Disamping itu dengan terbitnya PP No.7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi tugas pembantuan, pemerintah provinsi pun dapat memberikan penugasan dari pemerintah provinsi kepada kabupaten atau Kota atau mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. Melalui mekanisme tugas pembantuan ini maka paling tidakk pelaksana dan pelaksanaan pekerjaan dapat semakin dekat dengan pengguna kegiatan sehinggan discrepancy antara asil kegiatan dengan kebutuhan pengguna dapat relative diminimalisir. Selainitu, tugas oembantuan dapat lebih mengikat hubungan antara yang menugaskan dengan yang diberi tugaa sehingga hasil-hasil pekerjaan dapat lebih terstruktur, tepat guna, dan berhasil guna.
    Harus diakui bahwa telah banyak pencapaian yang berhasil dicapai emerintah provinsi. Namun disisi lain, kompleksitas dan kebutuhan pembangunan juga harus diakui makin kompleks sehingga capaian kinerja provinsi tersebut kurang terasa signifikansinya. Secara umum tingkat keberhasilan Kinerja Pemerintahm Daerah Provinsi Banten menurut penilaian responden biasa saja. Namun ada beberapa bidang yang kinerjanya dinilai kurang berhasil, yaitu di bidang ketenagakerjaan, kemiskinan, harga kebutuhan pokok, korupsi, dan pendidikan. Sedangkan lima program yang diharap dapat dituntaskan oleh provinsi adalah program pendidikan, masalah kemiskinan, korupsi, harga kebutuhan pokok, dan ketenagakerjaan.
    Gambaran mengenai permasalahan dan tantangan tersebut paling tdak harus menjadi cambuk bagi pemerintah provinsi Banten untuk mengubah policy dasar dalam pelaksanaan pembangunan melalui optimalisasi  kerjasama daerah.

    BAGIAN 2 : DINAMIKA POLITIK DAN DEMOKRASI LOKAL
    A.  Sisi Gelap Demokrasi kita
    Sebagaimana idealitasnya Hobbes. Demokrasi kita hanya berkualitas secara procedural saja, tetapi sangat buruk secara substansial. Machiavelisme pun sudah mendarah daging dalam praksis politik para politisi kita dan akhirnya demokrasi kita terbelenggu oleh kekuatan kapitalis dan feodalisme itu dan akhirnya tidak mampu menjadi fundamen bagi terbangunnya good governance yang bersendikan transparasi, akuntabilitas, partisipasi, dan supremasi hukum. Memang sesungguhnya, bukanlah demokrasinya yang salah, kendati memang ada yang salahdalam praktek kita saat ini! Mengapa? Karena demokrasi gagal mengejawantah seperti yang dicita-citakan Nehru (1960) bahwa “Democracy are means to an end, not the end itself”. Karena demokrasi hanyalah sekedar cara, maka bukanlah cara yang telah sempurna, sehingg membutuhkan penyempurnaan dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, kedewasan demokrasi suatu bangsa adalah hasil dari proses oanjang yang relative berbeda-beda antar bangsa. Ide demokrasi oun tidak tunggal, namun berkembang sejalan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya. Kendati demokrasi berkembang dalam modusnya, namun prinsip dasarnya yang bertujuan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat tidak pernah berubah. Itu sebabnya demokrasi membuka pintu bvagi siapapun untuk menggunakan hak pilihnya tanpa membedakan suku, ras, agama, golongan, status atau label apapun yang melekat dalam dirinya seperti tukang becak, buruh, sopir, nelayan, petani, orang miskin, orang kaya, pejabat, anak gubernur, pemain sinetron, atlet, penyanyi dangdut, dan sebagainya. Inilah keunggulan demokrasi karena tidak pernah membedakan status setiap manusia dihadapan demokrasi. Namun untuk dapat berdemokrasi secara utuh pun haruslah disertai prasyarat utama berupa kecerdasan dan kemurnian nurani rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sah. Bila tidak seperti itu, maka demokrasi akan berubah menjadi mobocracy seperti yang diingatkan oleh Aristoteles, yaitu demokrasi dilaksanakan di tengah masyarakat yang bodoh, tak terpelajaratau masyarakat yang memiliki akhlak buruk, mudah disuap. Karena alasan inilah yang menjadi keunggulan demokrasi itu sebagai “the dark side of democracy”  
    Karena kesempatan belajar itu teah cukup banyak tersedia bahkan dialami langsung oleh seluruh masyarakat Provinsi Banten, sejak pemilu 1999, 2004, dan 2009 yang gagal melahirkan DPRD yang benar-benar mamou menjadi wakil rakyat. Kenyataannya justru terbalik bahwa DPRD kita cenderung berperan sebagai wakil partainya! Kita juga telah belajar dari setiap penyelenggaraan Pilkada di hampir seluruh kabupaten/kota dan Provinsi di Banten sejak tahun 2005 yang menjelaskan dengan sangat nyata berkuasanya moneycracy sehingga mampu membeli kedaulatan demos yang bodoh, penakut dan terbelakang itu. Tidak sedikit orang yang menuhankan popularitas sebagai sarana untuk mencapai kekuasaan. Popularitas kemudian.

    B.  Ijasah Palsu Diantara Caleg Kita
    1.      Pendahuluan
    masih ingatkah kita tentang fenomena ijasah palsu yang merebak pasca pemilihan bupati lebak pada tahun 2003 yang muncul kembali pada pilkada 2008? Ingat pula kah kita dengan sejumlah kasus ijasah palsu pada proses pencalegan pada pemilu 2004? Itulah sebagian wajah ketidak jujuran yang masih menjadi bagian dari praktek politik di negeri ini. Demikian kira-kira wajah itu masih nampak sekarang, dan seperti nya belum akan banyak kemajuan.
    2.      Palsu dan aspal
    Secara empiris, palin tidak berdasarkan pengalaman pemilu 2004, fenomena ijasah bermasalah dalam proses pencalegan pada umum nya muncul dalam dua bentuk, yaitu ihjasah yang memang benar-benar palsu dan ijasah yang asli tapi palsu(aspal). Ijsah palsu sepenuhnya terjadi karena kesengajaan pelaku nya barapa tindakan pemalusuan terhadap satu atau beberapa bagian dari ijasah sedemikian rupa sehingga terkesan asli,sebagai mana pengertian umum dalam KUHP yaitu membuat sesuatu yang isisnya tidak sesuai dengan aslinya misalnya dengan cara mengurangi,menambah,atau merubah seluruh atau sebagian dari yang di palsu,atau mengadakan/ membuat sesuatu yang tidak ada fakta/kebenarannya.
    Ijasah aspal terjadi karena ada kerjasama dua pihak, yaitu pelaku dan instansi  terkait yang melegalkan terjadinya penerbitan ijasah secara sah namun tidak dapat dipertanggungjawabkan. Disebut asli karena memang fisik,dan yang mengesahkan ijasah itu benar-benar asli. Dan di sebut palsu karena umunya prosesnya tidak benar sehingga isinya pun tidak sesuai dengan kenyataan pada pemilik ijasah nya. Kata kategori jenis kedua ini secara hukum dan administratif adalah sah,namun proses nya cacat sehingga hasilnya tidak dapat dipertanggung jawabkan.ini kira-kira yang juga dapat kita pahami dari fenomena dan disk kursus tuduhan ijasah palsu beberapa pejabat publik kita beberapa waktu lalu. Kebijakan pemerinatah memalui program ujian persamaan dan paket A,B, dan C ternyata tak bebas dari praktek “jual-beli” ijasah tersebut. Seseorang yang harusnya mengikuti tahapan-tahapan kelas sebagai mana sekolah sebenarnya, serta kegiatan belajar mengajar dalam intensitas dan dengan norma tertentu, dalam prakteknya dapat hanya sekedar “titip” tanda tangan atau bahkan tidak hadir sama sekali. Paraktek ini makin mewabah ketika ternyata fenomena mengikuti hukum supply dan demand, dan celakan nya lembaga pendidikan merespon ini sebagai peluang bisnis yang sangat menjanjikan.

    3.      Kegagalan Partai
    Lolos nya sejumlah caleg bermasalah dan dengan ijasah bermasalah dalam pandangan saya merupakan indikasi dari kegagalan aprpol dalam melakukan kaderesasi dan rekrutmen politik. Rekrutmen politik sepenuhnya merupakan domain parpol, tugas dan tanggung jawab parpol, buka kpu. Kpu hanyalah instansi yang memfasilitasi roseses kontestasi politik berdasarkan UU. Andaikan tradisi politik, fungsi dan mekanisme parpol berjalan baik, mustahil sejumlah caleg dengan terack record buruk itu dapat lolos. Artinya sekali lagi,parpolah yang harus bertanggungjawab terhadap hal ini,dengan cara menarik kembali dan atau membatalkan calon-calon yang memang ijasahnya bermasalah tersebut.tidak dapat dipungkiri bahwa disamping lemahnya fungsi dasar parpol,masalah ini juga muncul karena adanya kecenderungan pragmatis parpol-parpol kita yang lebih mementingkan modal pinansial pare caleg dari pada modal sosial, integritas, dan kapasitas yang dimiliki. Akibatnya, tidak seikit parpol yang mengesampingkjan pentingnya pendidikan politik dalam rangka kaderarisasi karena berkeyakinan bahwa partai ibarat perahu menuju kursi kekuasaan. dan sebagai perahu, pasti ada yang berminat dan bersedia membeli tiket brapapun harganya, agar bisa menaiki perahu itu untuk mengadu peruntungan menuju kursi kekuasaan.
    Politik memang dinamis, tidak sedkit dinamika nya itu mndorong kemajuan kendati tidak sedikit pula yang dekonstruktif dan mengarah pada kemunduran. Dinamika ekstra parlementer yang mneginginkan sistem perolehan suara terbanyak pada akhirnya menekan parpol-parpol dalam parlemen untuk secara “inkonstitusional” mengakui dan menerapkan sistem suara terbanyak itu, yang menjadikan UU No.10/2008 yang baru saja mereka sah kan itu menjadi lemah, dan tidak lagi legitimate. Fenomena itu paling tidak memperkuat stigma kegagalan partai dalam membina pilar-pilar kehidupan politik yang sehat dan konstruktif.
    Fenomena ijasah palsu dan aspal sepertinya tidak akan pernah tuntas selama kita belum secara sungguh-sungguh peduli pada dunia pendidikan. Bagaimanapun, itu terjadi salah satu nya karena “rusaknya” idealisme para penyelenggara pendidikan kita, walaupun mungkin fenomena nya hanya nila setitik namun rusak susu sebelanga. Sinyalemen itu  tentu bukan bermaksud menjadikan sekolah dan perguruan tinggi sebagai kambing hitam atas segala kebokbrokan yang terjadi. Setidaknya terkandung pesan moral bahwa ketidak pedulian kita ternyata harus di bayar mahal dengan terus muncul nya caleg-caleg bermasalah, tidak berkualitas, serta bermoral dan bermotivasi buruk,hingga mengakibatkan urusan-urusan publik menjadi semakin salah urus dan tidak tidak berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
    Pilihan pada caleg yang concern terhadap persoalan pendidikan harus menjadi agenda utama karena keyakinan bahwa infestasi terbaik bagi prosese perubahan yang berararti adalah melalui pendidikan yang kokoh dan berkualitas. Termasuk dalam pemilukada 2011 di provinsi banten nanti. KPU harus membuka dan menuruskan indikasi kepalsuaan itu kepada panwaslu guna di selidiki. KPU pun harus membuka akses seluas-luasnya bagi seluruh masyarakat tentang daftar caleg yang ada beserta seluruh track record nya, agar masyarajat berkesempatan untuk melakukan uji publik terhadap mereka. Dengan cara ini, KPU akan di hormati dan di akui integritas nya oleh masyarakat karena keberpihakan nya pada kebenaran, kejujuran,keterbukaan dan moralitas demokrasi yang bersendi pada kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan partai. Selamat bekerja dan berhati-hati. Jangan biarkan caleg berijasah palsu bergentanyangan dalam pemilu 2009. Jangan lupa biarkan calon kepala daerah berijasah aspal menipu kita lagi.
    4.      Memahami hakikat golput dalam demokrasi
    Sebagaimana diberitakan salah satu media cetak lokal akhir juli lalu (31/707/2009), serta pernyataan serupa dari KH. Hasim Mujadi saat kunjungan nya ke serang pada waktu yang berdekatan. Tanpa bermaksud “menghakimi” pernyataan kedua ulama yang saya cintai yersebut, penulis merasa perlu untuk menghadirkan persefektif lain juga me,enuhi tanggungjawab untuk melakukan check and ballances dalam kehidupan politik dan demokrasi kita. “Tiada asap tanpa api”, demikian kira-kira pepatah yang tepat untuk memahami eksistensi golput. Golput tidak terjadi secara serta merta, tanpa ada penyebabnya. Inilah fakta empiris yang harus nya kita rujuk untuk melihat fenomena golput itu secara komporensif,tanpa terjebak pada sikap salah menyalahkan apalagi haram-mengharamkan betapa pun benar bahwa tindakan golput itu cenderung mubajir karena tidak akan menghasilkan perubahan apapun, namun eksistensi nya yang kontekstual seiring dengan dinamika perjalanan sejarah setiap bangsa itu tidak dapat dna tidak boleh di genaralisir sebagai salah keseluruhannya. Karena perbedaan konteks inilah maka masyarakat harus jelih dan obyektif mensikapi fenomena golput, hususnya hal-hal yang melatar belakangi kemunculan golput di tiap periode pemilu. Pada pemilu 1955, di tengah maraknya kehidupan kepartaian di indonesia, golput muncul karena di dorong oleh perseteruan yang cenderung saling intimidatif antara kaum unitaris dan kaum federalis. Semetara golput pada tahun 80-an hingga 90-an, lebih di latarbelakangi karena adanya “paksaan” yang sistenmatis untuk memlih golkar sebagai partai pemerintah.
    Akhirnya gerakan golput menjalani pilihan bagi orang-orang yang takut memilih partai lain di luar golkar. Golput pada era ini lebih di motivasi oleh semangat perlawanan terhadap rejim otoriter, yang tidak memberi ruang gerak bagi masyarakat untuk berekspresi, berpolitik dan bersikap beda. Dan semangat ini tetap mewarnai gerakan golput setidak nya hingga akhir era 90-an. Demikian pula golput pada pemilu 2004 yang secara umum lebih di picu oleh kekecewaan terhadap elit-elit partai nya serta pada pemerintah yang dianggap tidak mampu memperbaiki nasib raktyatnya. Disamping itu, terjadinya polarisasi kepemimpianan politik dalam masyarakat pun mendorong tejadinya golput atas dasar simbiosis antara patrol dan celint nya mana kala sang patrol tidak terakomodasi dalam struktur politik tertentu. Kekecewaan kepada pemimpin dan elite partai tidak serta merta membuat mereka pindah partai, umumnya sekedar menunda memilih sembari menunggu munculnya figur-figur yang mereka sukai, dan kalau pun pindah partai suatu saat dapat pulang kandang karena fanatisme yang bersifat laten. Budaya patrol celint yang masih sangat kuat serta tipologi budaya karena ideologi “tidak memungkinkan” orang dengan mudah pindah parpol. Ditenganh fenomena inilah maka di samping golput muncul pula fenomena makin nyata dan besarnya jumlah swinging foter , yang seberapa di antara nya cenderung kritis, non ideologis, ataupun pragmatis. Bila sampai saat nya mereka tidak menemukan pilihan, maka cenderung menjadi golput oleh sebab ketiadaan wadah (parpol) dan atau figur yang dapat dipercayai nya untuk membawa perubahan.
    Fenomena diatas tentu menjelaskan perilaku pemilih dalam konteks parpol,yang tentu sangat berbeda dengan pilkada dengan yang lebih merupakan kontestasi figur dari pada parpol. Itu seabbnya kenapa pilihan pada parpol tertentu hampir sealalu tidak berkolerasi dengan pilihan pada figur calon kepala daerah tertentu. Dan larena fakta inilah maka secara empiris golput dalam pilkada sering kali unmredictabe karena menyangkut apresiasi subyektif pemillih terhadap calon yang dikenal baik terac record nya.
    5.      Persefektif teori
    Dalam teori politik, golput (non voting behaviour) dipahami sebagai bentuk partisiapsi politik warga negara yang muncul karena beragam latar belakang. Memilih adalah hak (right)  politik warga negara yang byitsnature mengandung arti legal or moral ntit lement (authority to achte), yang mengandung kebebsan pemilik hak iyu untuk menggunakan atau tidak menggunakannya. Bukan kewajiban (duty) yang mengandung makna moral or legal obligation. Karena assensi filosofis inilah maka demokrasi yang bersendi kedaulatan rakyat,dan yang setiap orang legallhy equal hak-hak politiknya memberi ruang bagi pilihan untuk golput secara setara denag pilihan untuk memilih itu.harusnya para pemimpin membuka mata hatinya mana kala menemukan kenyataan golput,betapapun kecil jumlahnya.karena golput mengindikasikan adanya gejala;(1)perlawanan terhadap rejim yang ada;(2)ketidakpercayaan terhadap sistem dan calon yang ada;(3)kekecewaan yang besar terhadap pemerintah dan sistem yang;serta (4)putusnya harapan rakyat akan lahirnya sistem dan kepemimpinan yang mampu mengayomi mereka.dan terkadang,hanya dengan cara demikian kemapanan demokrasi yang mengandalkan berfungsinya check and ballances itu dapat tercipta ,kendati tidak selalu demikian adanya. Dalam konteks sosiologi politik,dijelaskan empat sebab sikap golput,yaitu: (1) apatisme politik,yaitu sikap tidak berminat atau tidak menaruh perhatian terhadap orang,situasi, atau gejala-gejala umum yang berkaitan dengan persoalan politik dengan kelembagaannya;(2) sinisme politik merupakan sikap yang dimiliki sebagai penghayatan atas tindakan dan motif orang atu lembaga lain dengan perusahaan curiga; (3) aliensi merupakan perasaan keterasingan dari kehidupan politik dan pemerintahan,sehingga selalu memandang segenap peraturan yang ada sebagai tidak adil dan mengutungkan penguasa; dan (4) anomi yaitu perasaan kehilangan dan orientasi hidup,sehingga tak bermotivasi untuk mengambil tindakan yang berarti karena hilangnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga politik yang ada.
    Kisah yang diceritakan dalam surah Al-Kahfi ayat 9-26, merupakan menisfestasi dari keimanan dan kepasrahan total kepada Allah atas kesadaran akan ketidakmampuannya untuk melawan,mengubah,atau sekedar untuk hidup bersama sistem yang kufur dan dibawah pemerintahan yang korup dan dzalim. Dan ditengah kesadaran itu,mereka memilih ‘golput’dengan cara menghindari dan menjauhi sistem dan kehidupan yang kufur itu.tak pelak lagi,kendati dengan konteks yang berbeda,menjadi golput itu sangat di-halal-kan,kendati tetap saja membutuhkan pemikiran mendalam guna dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan legal.golput hanya boleh dilakukan ditengah ketiadaan celah untuk melakukan perubahan yang lebih baik,termasuk pula ketiadaan pilihan yang lebih baik kendati diantara alternatif pilihan yang buruk.golput adalah salah satu instrumen gerakan moral rakyat yang dilakukan dengan cara mengekspresikan sikapnya dengan tidak berekspresi[silent movement].dan harusnya,tanpa harus menunggu menjadi silent majority,pemimpin dan elite politik harusnya mampu membuka mata,hati,dan telinganya untuk berintrospeksi guna memahami gejala public distrust dan mass disobedience ini guna lebih mengabdikan dirinya bagi sebesar-besar kemaslahatan rakyat.kalaupun ini tidak terjadi,yakinlah bahwa golput tidak pernah menjadi sia-sia dimata Sang Maha Penguasa.

    Bagian 3 :
    1.      Elit Senteris,Curi Start,Dan Etika Politik   
    Praktek doel heillgt de middelen atau tujuan menghalalkan cara aromanya sangat menyengat dan dengan mudah mudah kita indera disetiap sudut dan kesempatan.bukan karena berpengaruhnya ajaran niccolo machiavelli tentang the end justified the mean seperti dijelaskan dalam buku il principe karangannya,tetapi karena memang secara alamiah manusia memili sifat-sifat hewani yang sering mengajaknya memberontak terhadap nilai-nilai moral,serta sekaligus sifat ketuhanan yang hanief.dalam il principe yang merupakan kompilasi saran untuk penguasa lorenzo de’medici,machiavelli menganjurkan bahwa untuk tetap disegani dan mempertahankan kekuasan,seorang penguasa harus pandai membangun koalisi,melakukan show of force untuk menunjukan bahwa dirinya lebih kuat bahkan terkuat.seorang penguasa pun harus menebar rasa takut pada rakyatnya guna menekan potensi untuk mbalelo,disamping ajaran bahwa sepanjang hasilnya baik dan untuk kebaikan,maka cara apapu adalah sah untuk ditempuh.tulisan ini hanyalah refleksi dari kegelisahan penulis yang muncul dalam posisinya sebagai warga negara yang tengah gelisah melihat proses demokrasi yang berlangsung cenderung menjadi mobocracy bahkan democrazy.paling tidak kegelisahan ini dapat menjadi kegelisahan bersama manakala dapat di-share dalam ruang publuk ini.
    2.      Elit sentris
    Hampir seluruh proses penjaringan calon gubernur banten[2006] bermuara disatu atau beberapa tangan saja.ada yang proses konvensinya berjalan baik,namun hasilnya mengabaikan proses yang terjadi karena intervensipimpinan pusatnya.ada yang mekanismenya baik,namun hasil akhirnya tiba-tiba dipilih dari orang yang tidak pernah ikut penjaringan sehingga secara logis sulit dibenarkan.ada yang pat gulipat menggelegar rapat khusus,namun tidak untuk melakukan penjaringan melainkan pagi-pagi mendukung satu calon saja dan taklid dengan satu Calon itu seolah-olah hanya sang ratu adil itulah yang dapat mengubah semuanya dengan sim salabim.ada lagi yang merasa perahunya tidak cukup besar [baca;takut kalah] sehingga mendorong stok perahu yang ada mengantarnya berlayar dalam pilkada sekaligus show of force seperti kata machiavelli.dan ada lagi yang ribut antar sedulur-sebatur karena merasa berhak mencalonkan dengan mengabaikan mekanisme pertania yang harusnya dijunjung tinggi.inilah gambaran nyata elite-dominated democracy itu,lalu dimana peran rakyat.hhmmm,seperti biasa,kedaulatan rakyat hanya pada waktu pencoblosan,itupun dengan harga maksimal limapuluh ribu rupiah dan dengan dipaksa untuk memilih yang terbaik dari yang terburuk karena sistemnya memang tidak mampu menjaring pribadi-pribadi yang baik dan calon-calon dengan prestasi terbaik.


    3.      Telaah Kritis Rancangan RPJP Kota Serang Tahun 2008-2025
    Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Dareah merupakan keniscayaan sebagia dokumen perencanaan jangka panjang yang berfungsi memberi arah bagi tercapainya kondisi yang diharapkan 20 tahun ke depan. Kebutuhan akan RPJP juga merupakan manifestasi dan implementasi amanat UU No.25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No.17 Tahun 2007 Tentang RPJP Nasional Tahun 2005-2025.
    Kota Serang yang baru terbentuk pada tanggal 10 Agustus 2007 melalui UU No.32 Tahun 2007 juga membutuhkan RPJP Kota sebagaimana daerah otonom lainnya. Kendati merupakan daerah otonom baru, tidak berarti bahwa Kota Serang dapat berdiri sendiri dalam menyusun perencanaanya, karena bagaimanaapun Kota Serang merupakan sub sisetem dari sistem sosial, budaya, ekonomi, politik, dan ekologi regional dan nasional.
    Tak dapat dihindarkan, dengan populasi lebih dari 500 ribu jiwa Kota Serang secara tiba-tiba telah berstatus sebagai kota besar dalam perspektif kependudukan. 6 wilayah kecamatan kota Serang yang pada tahun 2005 berpenduduk 513.972 jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata 34,26 jiwa/Ha dan growth berkisar 5%, maka pada akhir tahun 2007 diproyeksikan akan mencapai 543.474 jiwa dengan densitas mencapai 36,23 jiwa/Ha. Dan dengan asumsi ceteris paribus,  maka dapat dipastikan dalam waktu 7 hingga 10 tahun, demsitas kota Serang akan mencapai lebih dari 50 jiwa/Ha. Sebagai kota hasil pengembangan dari kawasan Induknya maka ciri-ciri mendasar dari rencana pemanfaatan induk kabupaten induknya, mengingat bahwa kendati seacara administratif Kota dan Kabupaten Serang adalah wilayah yang otonom, namun secara ekologis merupaka wilayah yang saling tergantung (interdepedency). Maka dari itu Kota serang harus memperhatikan aspek- aspek ekologis yang harus diperthankan, seperti : pertama, karakter wilayah serang tengah yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan, permukiman, perkotaan, pelayanan perdagangan dan jasa, pusat koleksi dan distribusi. Kedua, karakter kawasan Lindung yang berfungsi sebagai kawasan penyangga (buffer zone)wilayah yang membentang dari wilayah utara (Bojonegara, Pulomerak) ke selatan (Padarincang, Ciomas) seluas 36.989,84 Ha. Ketiga,  karakter kawasan budidaya pertanian yang mana mencangkup 23 Desa didalamnya. Maka tak lagi diragukan bahwa pengembangan kota Serang bertumpu pada pertanian dan perikanan, kanyataannya 4 dari 6 kecamatan di Kota serang lebih sebagai wilayah pedesaan. Dengan demikian, pembangunan Kota Serang ke depan sebaiknya mempertahankan karakter alamiah sebagai Kota bercitarasa Desa, bukan sebaliknya.
                Harus diakui bahwa pembentukan kota serang itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan politik sebagai implikasi dari pembentukkan Provinsi Banten. Bagaimana pun, Kota Serang tidak boleh menjadi (meniru) kota Cilegon dan Tangerang karena Kota Serang memiliki karakter tersendiri. Kota Serang harus tetap mampu mempertahankan cirinya sendiri sebagai kota ‘agraris’ untuk menuju Kota Serang Madani (Maju, Adil, Damai, sejahterA, moderN, dan Islami) pada 2025.
    4.      Kado Ulang Tahun Kota Serang yang ke-3
                Tanggal 10 Agustus ini Kota Serang memasuki usianya yang ke-3, setelah terbentuk melalui UU No.32 Tahun 2007. Dari awal pembentukan kota Serang banyak wajah yang mewarnai kota Serang, apalagi faktanya Kota Serang dibentuk lebih untuk memenuhi kebutuhan politik, belum lagi angka kemiskinan yang cukup tinggi.
                Kini di usianya yang ketiga, sejumlah masalah diatas menjadi bagian inheren dari wajah kota saat ini. Kemiskinan bertambah hingga 20.984 KK (BPS), atau 28.320 KK menurut versi p2KP dan 129.000 jiwa menurut versi Dinas Kesehatan. Sejumlah masalah itu disinyalir karena visi dan misi sebagaimana tertuang dalam RPJPD dan RPJMD tidak membumi, tidak realistis dan tidak berdasarkan fakta dan masalah yang ada di Kota Serang.
    5.      Wacana Putra Daerah dalam Prespektif Otonomi dan Pembangunan Daerah
    “...bahwa dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah” (UU No.22/1999). Sepenggal kutipan tersebut mengisyaratkan bahwa betapapun besarnya kewenangan dalam otonomi daerah namun harus tetap berada dalam koridor sistem nilai yang bersifat universal. Otonomi Daerah pada hakikatnya adalah kewenangan daerah untuk secara otonom mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat guna meningkatkan harkat hidup masyarakat di daerah tersebut.
                Pembangunan daerah dalam era otonomi memiliki ruang lingkup yang sangat kompleks mengingat cukup luasnya cakupan kewenangan yang dilimpahkan kepada pemda setempat sebagaimana diatur dalam pasal 7-13 UU No.22/1999. Kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter, fiskal,agama dan kewenangan lain diatur secara nasional, maka seluruh kewenangan dalam bidang pemerintahan dan pembangunan daerah menjaddi tanggung jawab dan kewenangan daerah.
    6.      Keterbukaan Informasi Publik: Tantangan dan Urgensi di Banten
    Tak banyak orang menyaddari bahwa lahirnya UU NO 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi Publik pada tanggal 30 April 2008 lalu tak lepas dari kontribusi Provinsi Banten didalamnya. Tidak langsung memang, namun eksistensi dan keberhasilan dari komisi Transpalansi dan Pertisipasi (KTP) di Kabupaten Lebak diakui secara nasional sebagai salah satu best practice yang mendasari kelahiran UU KIP dilahirkan, ditengah diskursus pro dan kontra urgensi Kebebasan Meraih Informasi Publik (KMIP) pada sekitar 7 tahun lalu.
    Hak atas informasi (right to know) merupakan bagian tak terpisahkan dari freedom of expression yang telah menjadi salah satu isu utama para perumus Deklarasi Umum tentang Hak Azasi Manusia. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan menilai bahwa hak ini memiliki peran yang sangat penting bagi perjuangan hak-hak azasi lainnya, sehingga memiliki karakter sebagai fundamental right.
    Sebagai fundamental right, hak atas informasi tidak tergolong dalam nonderogable rights  yaitu hak yang dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Dengan demikian, pelaksanaan atas hak ini dapat dibatasi dengan pertimbangan tertentu karena pelaksanaan hak ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, yang dengannya dapat dikenakan pembatasan tertentu.

    Bagian 4 :
    1.      Menimbang Gagasan Megapolitan
                Diskursus mengenai megapolitan sempat menyita perhatian masyarakat dan elit di Banten, tidak saja dalam prespektif subyek yang terlibat didalamnya namun juga berbagai spekulasi yang berkembang seputar perdebatan mengenai megapolitan itu. Mulai dari soal spekulasi skenario pencaplokan wilayah, hilangnya sumber PAD daerah, hingga perdebatan mengenai eksistensinya dalam konteks UU Pemerintahan Daerah yang berlaku.
                Megapolitan merupakan kawasan yang terintegrasi dalam satu jaringan hubungan antara wilayah induknya (metropolitan) dengan wilayah sekelilingnya (micropolitan). Istilah megapolitan itu sendiri terlacak pertama kali digunakan oleh Jean Gottman pada tahun 1961 dengan istilah “megapolis”. Istilah itu sering dikaitkan dengan konsep sosiologi yang menggambarkan tahap-tahap perkembangan kota mulai dari mikropolis, metropolis, kosmopolis hingga nekropolis.
    2.      Wajah Pendidikan di Era Otonomi Daerah
                Amerika Serikat adalah negara adidaya yang meyakini bahwa superioritasnya dalam hubungan antar bangsa terletak pada keunggulan SDM nya dalam bidang ilmu, pengetahuan dan teknologi. Begitu besarnya perhatian terhadap pendidikan sangat nampak dari kesungguhan mereka dalam melakukan reformasi pendidikan secara terus menerus, dan berkelanjutan.
                Dalam minggu pertama setelah dilantik sebagai presiden untuk periode pertama, George W. Bush mencanangkan program reformasi pendidikan di negaranya, justru pada saat pendidikan berada dalam puncak performanya paska Clinkton. Bandingkan dengan pendidikan di Indonesia yang dalam 60 tahun baru berhasl merefomasi  pendidikannya melalui perubahan UU Sisdiknasnya, itupun dengan demonstrasi besar-besaran yang mengahbiskan energi.
                Pendidikan adalah sarana mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan amanat konstitusi yang dengan tegas sinyatakan sebagai salah satu tujuan pembentukan negara RI sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945 bahwa : “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Republik Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mecerdaskan kehidupan bangsa, dan...”
    Sejak thun 1984, program wajib belajar enam tahun (Wajar Diknas 6 Tahun) nampaknya belum benyak memeberikan kesempatan bagi seluruh anak Indonesia. Angka anak yang belum terjangkau pendidikan dasar  masih cukup besar, penyandang buta huruf (PBH) pun tak juga dapat diberantas karena setiap tahun angka putus sekolah yang berpotensi menjaddi PBH mencapai hampir satu juta anak usia SD. Dalam konteks Banten, paska terbentuknya Provinsi Banten pada tahun 2000 hingga kini, pemerintah belum mampu menjamin pendidikan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat Banten. Angka putus sekolah semakin meningkat, demikian juga angka anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi.
    3.      Catatan Kritis terhadap LKPJ Gubernur Tahun 2007
                Tanggal 30 Maret 2008, Gubernur menyampaikan Laopran Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) pelaksanaan tugasnya selama tahun 2007. Yang menarik dari LKPJ ini adalah nilai pelaksanaan tugas yang diklaim mencapai 92,66 yang berarti nyaris mencapai nilai sempurna. Sesempurna itukah kinerja gubernur ?
                Sebagai wujud dari amanat UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 27 ayat (5), serta amanat Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (LPPD) Kepala Daerah kepada DPRD, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah kepada DPRD, dan Informasi Laporan Penyelangaraan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat. Beradasarkan PP No.3 Tahun 2007, LKPJ sekurang-kurangya harus menjelaskan mengenai 5 (lima) aspek, yaitu :
    1)      Arah kebijakan umum pemerintah daerah;
    2)      Pengelolaan keungan daerah secara makro;
    3)      Penyelenggaraan urusan desentralisasi;
    4)      Penyelenggaraan tugas pembantuan;
    5)      Penyelenggaraan tugas umum pemerintahan.
    Beradasarkan pemahaman teoritis dan yuridis, ada beberapa temuan menarik yang dapat disimpulkan dari LKPJ Gubernur. Terkait dengan metode penyajian ada 2 (dua) hal menarik, yaitu :
    1.      Penyajian LKPJ nyaris tidak dapat dibedakan dengan LPDP maupun LAKIP, shingga tidak mampu menjelaskan mengenai dinamika Penyelenggaraan Pemerintah secara utuh
    2.      Pengukuhan kinerja indikator Prioritas Daerah (IPD) tidak konsisten dengan pendekatan sebagaiaman diatur dalam keputusan Menteri Pendayagunaan Apatur Negara Nomor: KEP/135/M.PAN/9/2004 tentang pedoman umum evaluasi laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, serta keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor :239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

    4.      Pasir Lontar, Mbah Marijan, dan Hati Nurani
    Tak terasa telah setahun berlalu sejak Pilkada Kabupaten Serang yang penuh ketegangan,‘tipu muslihat’, dan tentu menyedot perhatian luar biasa dari seluruh elemen masyarakat. Bahkan tidak sedikit peneliti yang menjadikannya sebagai objek penelitian, kurang lebih dengan ‘hipotesis; yang nyaris sama.
    Polemik soal penabangan pasir di Lontar nampaknya belum akan berakhir, walaupun interpelasi berakhir antiklimkas. Bahkan ada kecendrungan persoalannya makin meluas, bergeser, dan tidak lagi terfokus pada inti masalah yang sebenarnya. Berbagai spekulasi muncul, mulai dari motif politik, ekonomi, hingga perssaingan usaha. Di masyarakat, mulai ada gejala penggunaan cara-cara tidak sehat dalam menyelesaikan masalah, mahasiswa yang anti penambangan konon ‘diteror’ dengan sejumlah SMS ancaman hingga statemen keras bernada mengancam dari petinggi kabupaten ini. Bahkan konon sejumlah intel dari kesatuan ‘telah dimobilisasi’ untuk mengendus dalang dan motivasi bergolaknya kembali Pasir Lontar.
    Masyarakat seolah diarahkan untuk permisif terhadap aktivitas pengerukan pasir itu, tidak soal apakah saat ini sudah dikeruk atau belum, prosedural atau tidak. Dengan terbitnya ijin pengerukan itu saja telah membuktikan buruknya moralitas publik pemerintah dalam menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup yang menjadi tempat bergantungnya hajat hidup orang banyak yang tidak hanya berdimensi saat ini namun juga masa depan.
    Tak ada hubungan (langsung) memang antara ketegangan warga lereng merapi yang ‘terbatuk-batuk’ dengan ketegangan warga Lontar dan berbagai elemen masyarakat Serang saat itu, walaupun secara simbolik marahnbya merapi itu harusnya menjadi ibroh bagi kita dalam berhubungan dan mengelola SDA dan LH. Ibroh ini disarikan dari Mbah Marijan yang fenomenal, yang kostinten dan kekuatan keyakinan mampu meruntuhkan kharisma dan ‘kekuasaan’ Sultan Ngayogyokarto Hadinigrat. Terlepas dari keyakinan macam apa yang dianutnya, serta terlepas dari penalaran scientific atas fenomena geologis dan vulkanologis yang kita pahami, namu kesederhanaan hidup, kebersihan hati, dan keikhlasan dalam menjalani tugas hidupnya sebagai kuncen Merapi, cukup menggambarkan kewibawaan dan nilai-nilai kearifan lokal yang patut direnungkan.
    5.      Yang Tertinggal dari LKPJ Gubernur 2009
    Pada tanggal 28 April 2010 DPRD Banten telah menyampaikan tanggapannya terhadap LKPJ Gubernur tahun ke-3 kepemimpinannya yang disampaikan di hadapan DPRD Provinsi Banten pada tanggal 29 Maret 2010. Berbagai tanggapan publik pun disampaikan, baik melalui forum ilmiah, media, maupun bentuk ekspresi massa dalam beberapa unjuk rasa. Terlepas dari diskursus itu, sejumlah prestasi patut secara obyektif diapresiasi kepada Gubernur dan segenap jajaran Pemprov Banten karena jerih payahnya telah mendedikasikan sinyal-sinyal positif terhadap keberlangsungan pembangunan yang lebih baik di masa mendatang.
    Secara umum terdapat tiga kelemahan yang secara eksplisit nampak dalam LKPJ Gubernur tahun 2009. Dua kelemahan pertama tidak terjadi pada tahun sebelumnyasehingga manakala saat ini terjadi, serta merta dianggap ganjil dan memicu kontoversi yang cukup menyita perhatian publik. Pemrov bahkan menjadi bulan bulanan karena dianggap dengan sengaja memanipulasi persepsi publik melalui penggunaan perspektif yang diluar kebiasaan. Adapun ketiga kelemahan tersebut yaitu, pertama, ditemukannya data yang diragukan validitasnya, seperti klaim keberhasilan menurunkan AKI yang mencapai 11,50%  padahal AKI tahun 2009 mencapai 252 kasus/100.000 kelahiran sebesar 226. Kedua, ditemukannya metode perhitungan capaiannya sama percis yaitu 11,12%; klaim capaian rumah tangga yang terlayani listrik dan target dan capaiannya juga sama percis yaitu 707.404 KK. Ketiga, LKJP tidak menguraikan sejumlah kendala yang dihadapi selama penyelenggaraan pemerintahan pada tahun 2009, beserta solusi yang diambil oleh Pemprov. Dengan demikian LKJP lebih mengedepankan informasi kuantitatif yang bersifat administratif semata, seperti : daya serao anggaran dan capaian-capaian kinerja yang hanya diukur dalam perspektif perbandingan input-output semata tanpa menjelaskan outcame, impact, dan benefit nya.







    BAB II
    PENGKAITAN MASALAH-MASALAH DI BUKU DENGAN MASALAH MASA KINI

    ·         Demokrasi menjadi Moneycracy

    Setiap penyelenggaraan Pilkada di hampir seluruh kabupaten/kota dan Provinsi di Banten sejak tahun 2005, yang menjelaskan dengan sangat nyata berkuasanya moneycracy sehingga mampu membeli kedaulatan demos yang penakut dan terbelakang. Setiap diadakannya pemilu atau Pilkada, hampir lumrah sehari atau seminggu sebelum dilaksanakannya pemilihan, para tim sukses membagi-bagikan amplop atau sekedar bingkisan ke tiap-tiap desa. Hampir seluruhnya menjelaskan kecenderungan politik monopoli dan hegemoni yang di tebarkan di Banten, seperti :
    1.      Suami gubernur pada tahun itu dapat memimpin partai Golkar provinsi dengan menyingkirkan sejumlah kader partai yang jauh lebi qualified dan telah menjalani proses pengkaderan yang panjang
    2.      Adik gubernur pada periode itu pula, dapat dengan mudah menjadi ketua parta Golkar di Kota Serang, juga dengan menyingkirkan sejumlah tokoh partai Golkar di Kota Serang, juga dengan menyingkirkan sejumlah tokoh Golkar yang telah makan asam dan garam membesarkan partai.
    3.      Setelahnya,  Pemilu 2009 telah sangat gemilang mendapatkan adik gubernur yang lain menjadi anggota DPRD Provinsi Banten yang kemudian menjadi wakil ketua DPRD mewakili partai Golkar dan dalam Pemilukada Kabupaten Serang terpilih sebagai wakil bupati mendampingi bupati incumbent Taufik Nuriman.
    4.      Juga terpilihnya ibu tiri gubernur sebagai anggota DPRD Kota Serang yang sekarang menjadi Ketua Komisi IV.
    5.      Serta menantunya yang juga menjadi anggota DPRD Kota Serang
    6.      Putra pertama gubernur pun terpilih menjadi anggota DPD RI mengalahkan sejumlah nama besar dan tokoh Provinis Banten
    7.      Ibu tiri Gubernur yang lainnya yang terpilih menjadi wakil bupati Pandeglang pada Pemilukada tahun 2010
    Hal ini memang menuai pertanyaan. Apakah ini  salah demokrasi ? dan apakah juga salah jika mereka yang memiliki hibungan kekerabatan dengan gubernur saat itu kemudian terpilih untuk menduduki jabatan-jabatan politik di Banten
    Jawabannya tentu bukan masalah demokrasinya, juga tidak ada yang salah dengan terpilihnya mereka itu sebagai warga negara dan hak-hak politik mereka sangat dijamin oleh konstitusi , baik hak dipilih maupun memilih.
    Permasalahannya sekali lagi, terletak pada prakondisi demokrasi yang tidak cukup memadai, sehingga demokrasi kita telah mendekati definisi mobocracy dan/ timocracy  sebagaimana dikhawatirkan Aristoteles dan Plato sekitar 6 abad M. bahwa demokrasi kita bahkan telah menjadi moneycracy akibat ketidakmampuan masyarakat pemilih untuk tidak terpengaruh terhadappemberian yang dimaksudkan menjadi penyokong pemilih memilih sang calon.
    ·         Sekolah Gratis, Mungkinkah ?
    Banten sudah 5 tahun menjadi provinsi namun pendidikan masih saja tertinggal. Dibeberapa forum terungkap bahwa pendidikan di Banten tertinggal 10-20 tahun dibandingkan daerah-daerah lainnya yang terdekat seperti Jakarta, Bandung dan Bogor. Kondisi ini sangat ironis mengingat bahwa Banten sejak awal tahun 1980an telah bertumbuh dengan pesat sebagai pusat industri yang tentu saja sarat dengan kebutuhan SDM yang berkualitas. Inilah gap yang nyata terjadi, sementara sektor industri berkembang dengan sangat pesat di satu sisi, sedangkan di sisi lain daya serap industri terhadap SDM daerah sangat kecil. Artinya perkembangan sektor industri tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas SDM di Daerah sehingga kebutuhan akan SDM daerah dipenuhi oleh SDM dari luar daerah, hingga akhirnya masyarakat Banten menjadi tamu di Negaranya sendiri. Inilah tantangan nyata yang seharusnya jadi permasalahan kita bersama dalam membenahi dan mengejar ketinggalan sektor pendidikan. strategi pemerataan; dan (2) strategi percepatan, yang mana keduanya dilakukan secara simultan dan sinergis. Pemerataan dilakukan dalam rangka memperkecil jumlah masyarakat yang tidak mampu mengakses pendidikan melalui kebijakan pendidikan yang pro rakyat miskin. Pendidikan Dasar gratis nampaknya menjadi solusi ideal untuk strategi pemerataan ini. Sementara startegi percepatan ditempuh melalui penciptaan pusat-pusat pertumbuhan strategis pada sejumlah lembaga oendidikan unggulan yang dapat di promote sebagai centre of exxcelent sekaligus menjalankan misi trickle down effect bagi sekolah-sekolah lain.






    BAB III
    KESIMPULAN
    Faktanya bahwa didaerah banten masih banyak politik yang belum terealisasikan secara optimal. Maka dari itu perlu adanya kesadaran baik dari pemerintah daerah maupun masyarakat banten untuk kemajuan dan kesejahteraan provinsi banten,melihat kondisi politik daerah banten yang cenderung menganut sistem dinasti ini diakibatkan karena otonomi daerah yang ada di banten kurang melaksanakan koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Oleh sebab itu pemerintah daerah banten harus lebih memfasilitai kabupaten/kota diwiliyah bnaten agar tidak ada kecemburuan antar pemerintah daerah.

    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • Copyright © - Setetes Ilmu

    Setetes Ilmu - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan