- Home>
- Resume Buku "Habis Gelap Terbitlah Terang"
Posted by : Chachacino
Selasa, 15 November 2016
Judul
: Habis Gelap Terbitkah
Terang ?
Pengarang : Gandung Ismanto
Penerbit
: Gong Publishing
BAB I
RESUME
BAGIAN
1 : GELIAT BANTEN MEMBANGUN
A.
Kado Dasarwasa Provinsi Banten (Sebuah Refleksi)
1.
Pendahuluan
Tak terasa, bulan Oktober tahun ini (2010) Banten akan memasuki
usianya yang kesepuluh sejak dibentuk pada tanggal 17 Oktober 2010 lalu. Selama
satu dasawarsa itu, Banten mengalami dua periode kepemerintahan, ditambah
dengan satu pemerintahan transisi pasca terbentuknya provinsi bantencukup
banyak kemajuan yang telah dicapai sepanjang satu dasawarsa perjalanan provinsi
ini. Kendati, tak menutup kemungkinan bahwa tak ditemui kekurangan dan
kelemahannya. Refleksi adalah cara bijaksana guna melihat capaian-capaian,
masalah dan kelemahan-kelemahan tersebut secara obyektif sehingga dapat diurai
dan ditemukan jalan kelua ryang lebih substansial di masa mendatang.
2.
Banten Hari ini
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sejumlah indikator
makro menunjukkan perubahan yang lebih baik dibandingkan dengan keadaan Banten
sepuluh tahun yang lalu. Misalnya Angka kemiskinan telah turun secara
signifikan dari angka 9,22 (di tahun 2002) menjadi 7,64 (tahun 2009), Angka
buta huruf menurun, IPM pun meningkat dari angka 66,6 (2002) menjadi 69,8
(2009). Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) juga mengalami peningkatan sangat
progresif dari hanya 73,7 triliun pada tahun 2004 menjadi 12,5 triliun pada
tahun 2008, begitu juga dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tercatat
sebagai perubahan kenaikan paling progresif dari sebesar 212,8 miliar di tahun
2002 menjadi 1,9 triliun pada tahun 2009. Tanda- tanda kemajuan juga nampak
dari sejumlah perubahan yang terjadi seperti : bertambahnya 2 daerah otonom
baru, yaitu Kota Serang (2007) dan Kota Tangerang Selatan (2008), berhasilnya
Provinsi Banten menyelenggarakan even nasional Musabaqah Tilawatil Qur’an
(MTQ), penyelesaian kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten, dan masih
banyak lagi. Sejumlah kemajuan tersebut adalah sinyakl positif adanya geliat
pembangunan daerah yang terus menuju ke arah perubahan yang lebih baik. Kendati
demikian, masih banyak kekurangan yang belum diatasi sepanjang satu dasawarsa
terakhir. Masi ada pekerjaan rumah yang belum tertanangi dengan baik, pekerjaan
rumah yang justru menjadi core problem dan common platform. Apakah pekerjaan rumah tersebut? Ya, persoalan
disparitas utara-selatan, kemiskinan, pengangguran, kebodohan dan
ketertinggalan, serta buruknya infrastruktur wilayah yang masih menjadi icon
permasalahn di Banten.
3.
Perbandingan Yang Adil
Jika membandingkan Provinsi Banten dengan provinsi lain yang telah
lama berdiri dan jauh lebih maju tentu tidak fair. Perbandingan yang adil dan
bisa diterapkan pada keseluruhan aspek yang diharapkan masyarakat adalah
membandingkan Banten dengan provinsi yang seusia dengan dirinya, oleh karena
itu jika Banten disandingkan dengan Provinsi Gorontalo dan Bangka Belitung
nampaknya lebih dapat diterima. Setelah dibandingkan dengan provinsi seusia
dengan Banten. Indikator resmi yang paling relevan untuk dibandingkan
adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
karena hal ini direpresentasi oleh tiga indikator utamanya, yaitu : derajat
kesehatan masyarakat yang diindikasi oleh angka harapan hidup, derajat
pendidikan masyarakat yang diindikasi oleh rata-rata lama sekolah dan angka
melek huruf, serta kesejahteraan masyarakat yang diindikasi oleh daya ekonomi
beli masyarakat. Kemajuan yang dicapai oleh banten hari ini terasa sangat tidak
optimal. IPM misalnya, Banten yang pada tahun 2002 berada pada tingkat 11
nasional dengan IPM 66,6 justru saat ini terpuruk pada peringkat 21 dengan IPM
69,8 (2009). Berbeda dengan Bangka Belitung yang justru mengalami progress IPM
yang baik, di tahun 2002 berada di peringkat 20, justru kini berhasil menempati
10 besar. Begitu pun Gorontalo, kendati tidak lebih baik dari Banten namun
menunjukan pencapaian yang konsisten dan menjanjikan walaupun sempat turun pada
peringkat 28 pada tahun 2004 tetapi secara agregat, sejak tahun 2002 Banten
hanya mampu meningkatkan IPM-nya sebesar 3,1 poin, jauh dibawah Gorontalo yang
mencapai 5,19 poin, apalagi dengan Bangka Belitung yang mencapai 6,79 poin.
Dalam pengentasan kemiskinan, menekan angka pengangguran, laju
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju pertumbuhan ekonomi banten
justru menunjukkan gejala yang tidak memuaskan dan cenderung kalah saing dengan
kedua provinsi yang seusia dengan Banten. Fakta-fakta tersebuut akan makin
memprihatinkan bila kondisi Banten dikaitkan kembali dengan kenyataan lainyang
lebih mengkhawatirkan misal : masih tingginya angka kematian ibu, angka
kematian bayi, infrastruktur jalan di wilayah selatan yang sangat parah seta
arah pembangunan distortif oleh sejumlah proyek mercusuar atau proyek pesanan
yang mucul “tiba-tiba”
Sekelumit data tersebut tidak mampu merepresentasi wajah Banten di
usianya yang kesepuluh. Sebuah wajah yang masih menggambarkan harap-harap
cemas. Harap, karena Banten memang penuh dengan segala potensi yang dapat
dimanfaatkan guna mengentaskan keseluruhan permasalahan yang telah disebutkan,
dan cemas karena langkah demi langkah kemajuan itu sepertinya terasa berat,
lamban dan cenderung distortif.
B.
Di Balik Revisi RPJMD Banten 2007 - 2012
Adanya wacana
revisi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Banten tahun
2007-2012 telah menyedot perhatian publik pada awala 2009 lalu. Sebagai sebuah
dokumen strategis, RPJMD haruslah mempertimbangkan keseluruhan kompleks
variabel yang bekerja dalam kurun waktu lima tahun, sehingga RPJMD benar-benar
dapat menjadi guidance book yang
dapat dipercaya dalam melihat arah pembangunan di suatu daerah. Presentase
sejumlah indikator pembangunan seperti Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE)
sebelumnya ditargetkan sebesar 6,97%
justru diturunkan menjadi 4,57% pada tahun 2009, LPE 2010 sebelumnya
ditargetkan sebesar 7,31% turun menjadi 5,59%, LPE 2011 yangg sebelumnya
ditargetkan 7,64% diturunkan menjadi 6%. Kemudian penurunan indikator
pembangunan ini pun terjadi pada jumlah penduduk miskin, pengangguran serta
capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Diturunkannya sejumlah indikator
makro yang bersifat strategis ini tentu mengundang sejumlah tanda Tanya, ada
kepentingan apakah yang memaksa dilakukannya perubahan ini?. Revisis RPJMD
sebenarnya bukan soal boleh atau tidak, karena memang tidak ada aturan manapun
yang melarangnya. Sebagaiman dilansir di sejumlah media, ada tiga faktor yang
mendorong pemerintah melakukan revisi RPJMD yaitu : krisis keuangan global yang
memaksa pemerintah merasionalkan asumsi, sinkronisasi perundang-undangan yang
ada dengan sejumlah perundang-undangan yang baru lahir belakangan, dan perubahan
wilayah administrative kanupaten/kota di Provinsi Banten, dimana telah
bertambah dua daerah otonom baru yaitu Kota Serang dan Kota Tangerang Selatan.
Lalu realistiskah revisi RPJMD yang dilakukan pemerintah daerah Banten.
berdasarkan pasal 150 UU No.32/2004, substansi RPJMD haruslah mengacu pada RPJP
dan RPJMN karena RPJMD bukanlah dokumen perencanaan yang berdiri sendiri, ia
adalah bagian utuh dari RPJPD, RPJPN dan RPJMN yang berfungsi sebagai alat
untuk mengejawantahkan ketiga dokumen perencanaan diatas tersebut. Kemudian,
mungkinkah RPJMD direvisi sementara RPJPD, RPJPN, dan RPJMN yang menjadi
acuannya tidak berubah?. Maksudnya, berdasarkan logika bahwa RPJMD sebagai
dokumen perencanaan paling bawah diantara dari RPJPD, RPJPN dan RPJMN maka RPJMD
baru dapat diubah jika ketiganya mengalami perubahan. Nampaknya kita harus
jujur mengakui bahwa tidak semua perubahan yang diinisiasi itu dipengaruhi oleh
krisis global, karena ternyata fakta yang terjadi saat dua tahun sebelum krisis
terjadi pemerintah provinsi juga tidak pernah mencapai target LPE yang sudah
diteapkan dalam RPJMD. Kita pun harus mengakui bahwa angka pengangguran dan
kemiskinan kita tidak banyak secara signifikan berkurang, justru di tengah
ironi di satu sisi PAD kita selalu meningkat signifikan. Dengan demikian
pemerintah provinsiakan terlepas dari sejumlah kecurigaan masyarakat akan
adanya motif politi dan ekonomi tertentu berupa proyek-proyek pesanan yang
dititipkan dalam revisi RPJMD tersebut. Satu hal penting yang nampaknya perlu
menjadi refleksi bersama bahwa di tengah daerah lain dan Negara lain berlomba
untuk menjadi Cheaper, Better, Faster and Newer dalam menyelenggarakan
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan public, kita justru bersemangat untuk
menjadi lebih mahal, lebih buruk, lebih lamban dan lebih mundur.
C.
Memahami Polemik Bantuan Keuangan Provinsi
Terdapat beberapa
keprihatinan dari polemic tersebut. Pertama, masalah grants itu telah
sangat lama menjadi polemik, kira-kira sejak awal periode banten sebagai
provinsi. Polemik ini seolah menjadi kutukan karena terus menerus menjadi
pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. Disebut kutukan karena seolah
merepresentasika perihal beberapa bagian dari perseteruan antarelite dalam
sejarah pembentukan Provinsi Banten bahkan hingga saat ini. Disparitas
Utara-Selatan misalnya, secara faktualmasih menjadi masalah nyata yang turut
melatari perseteruan tentang bantuan keuangan tersebut. Polemic ini pun
mencerminkan ketidakmampuan provinsiuntuk berempati terhadap problematika
mendasar yang dihadapi oleh kabupaten/kota yang notabene-nya merupakan
bagian integral dari eksistensi wilayah Provinsi Banten. problem Lebak dan
pandeglang misalnya yang masih menjadi sentra kemiskinan, keterbelakangan dan
ketertinggalan dalam perspektif Human Development Index-nya. Oleh
karenanya Gubernur perlu membuka mata dan merendahkan hati untuk melihat
problematika dan harapan kabupaten/kota. Sementara kabupaten/kota pun perlu
lebih realistis memposisikan dirinya dalam kontes hak dan kewenangan provinsi
dalam memberikan grants tersebut.
D.
Memahami Problematika Banten
Bicara soal problematika yang dihadapi banten memang seperti hendak
mengurai benang kusut.siapapun yang mendengar Banten nyaris pasti
mengidentikkannya dengan stigma : kekerasan, keterbelakangan, kebodohan dan KKN
yang merajalela. Disamping stigma positif, seperti : kepatuhan pada ulama,
masyarakat religius, bahkan negeri seribu pesantren. Riset yang dilakukan oleh
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM)
misalnya, menyebutkan sejumlah indicator yang secara meyakinkan menunjukkan
bahwa Banten tengah bergerak kea rah bad governance bukan good governance.
Riset pun menyebutkan bahwa partai politik dan asosiasi pengusaha local sebagai
institusi yang paling tidak dipercaya oleh masyarakat. Beberapa isu public yang
sempat mengemuka pun berbanding lurus dengan hasil riset tersebut. Terdapat
total kerugian Negara sebesar86,2 M hingga tahun 2005, yang idalamnya termasuk
kasus-kasus menonjol seperti pembangunan KP3B, gedung Badan Diklat, gedung SMA
Unggulan, dan gedung Mapolda yang semuanya bermasalah: pengadaan alat scanner 3
dimensi di RS Tangerang dan rontgen ortopedi di RS Malingping yang tidak
didasarkan pada kebutuhan: Pembangunan Rangkasbitung – Tigaraksa yang buruk:
belum termasuk beberapa kasus terkini seperti hilangnya APBD senilai Rp 13 M,
pembangunan jalan Serang-Palima yang diduga bermasalah maupun gedung DPRD
Banten yang sempat bermasalah.
Siapapun Gubernurnya memang tidak akan mudah menyelesaikan
keseluruhan masalah di Banten yang sudah sangat patologis : kronis dan akut.
Terdapat 7 isu fundamental pembangunan daerah yang dihadapi Banten di awl
pemerintahan Ibu Atut dan Bapak Masduki saat ini, yaitu : masalah penanganan
kemiskinan, kesehatan dasar, pendidikan, perekomomian daerah, saran dan
prasarana wilayah, pengelolaan SDA dan LH serta kepemimpinan Daerah.
Fakta-fakta diatas merupakan sejumlah persoalan mendasar yang
menjadi wajah dan sekaligus tantangan BAnten di awal kepemimpinanGubernur dan
Wakil Gubernur baru hasil Pilkada 2006. Lebih sekedar kerja kerad yang
dibutuhkan, Namun kerja cerdas dengan mengoptimalkan potensi stakeholder
pembangunan daerah, tanpa terjebak pada kepentingan politik apalagi terkait
politik “balas budi” kelompok-kelompok pendkung selama pilkada. Bila itu
terjadi sudah pasti kepentingan rakyat akan selalu dianak-tirikan.
E.
Masalah dan solusi Pembangunan di Provinsi Banten
Pada proses
pernecanaan, secara umum ditemukan fakta rendahnya mutu perencanaan yang
indikasinya nampak pada beberapa fakta sebagai berkut:
1.
Perencanaan belum berorientasi pada analisis kebutuhan riil
pengguna dan karakteristik wilayah
2.
Koordinasi dan kerjasama dengan Kabupaten/Kota dalam proses
perencanaan belum optimal
3.
Pelaksanaan perencana tidak dilakukan oleh orang atau lembaga yang
bprofesional dan berkompeten, karena seringkali hanya dilakukan oleh oknim
apartur terkait dengan memanfaatkan bendera lembaga yang bergerak di bidang
terkait.
4.
Biaya perencanaan yang besar tidak sebanding dengan kualitas
dokumen perencanaan yang dihasilkan, dan
5.
Perencanaan kegiatan seringkali sarat dengan vested interest
untuk mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu
Beberapa fakta berikut paling tidak mewakili kelima kelemahan
sebagaimana tersebut di at, yaitu : pengadaan scanner tiga dimensi di RS
Tangeran dan Rontgen ortopedi di RS Malingping yang tidak sesuai dengan
kebutuhan dan kapasitas yang dimiliki RS tersebut(2005), gedung SMA Cahaya
MAdani Banten Boarding School (CMBBS) (2004-2005), pembangunan jalan
Rangkasbitung-Tigaraksa yang kualitasnya sangat buruk sehingga belum enam bulan
sudah mengalami kerusakan yang cukup parah (2005), dll
Pada proses impelementasi, secara umum masih ditemukan fakta-fakta
memprihatinkan antara lain :
1.
Rendahnya mutu pelaksanaa dan hasil pekerjaan
2.
Belum optimalnya koordinasi dengan Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan
pekerjaan
3.
Tidak berjalannya fungsi pengawasan sehingga ketidaksesuaian
pelaksanaan pekerjaan dengan rencana pekerjaan tidak dapat terdeteksi secara
dini. Pada beberapa kasus bahkan ditemukan pihak ketiga pengawas, sehingga
pengawasan menjadi tidak efektif.
Sementara pada proses evaluasi
secara umum masih ditemukan fakta-fakta, seperti :
1.
Tidak optimalnya fungsi monitoring dan evaluasi
2.
Tidak komprehensifnya pengukuran kinerja pelaksanaan kegiatan, yang
mencakup aspek efisiensi dan efektifitas proyek
3.
Tidak berfungsinya hasil evaluasi sebagai bahan umpan balik, bagi
proses perencanaan berikutnya.
Pembangunan
daerah harus diyakini bukan merupakan proses yang terpisah dari proses
pembangunan nasional, melainkan saling terkait dan bahkan saling bergantung. UU
Nomor 32 Tahun 2004 sesungguhnya telah memberikan peluang kepada daerah untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta
masyarakat dalam peningkatan daya saing daerah. Disamping itu dengan terbitnya
PP No.7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi tugas pembantuan, pemerintah provinsi
pun dapat memberikan penugasan dari pemerintah provinsi kepada kabupaten atau
Kota atau mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. Melalui
mekanisme tugas pembantuan ini maka paling tidakk pelaksana dan pelaksanaan
pekerjaan dapat semakin dekat dengan pengguna kegiatan sehinggan discrepancy
antara asil kegiatan dengan kebutuhan pengguna dapat relative
diminimalisir. Selainitu, tugas oembantuan dapat lebih mengikat hubungan antara
yang menugaskan dengan yang diberi tugaa sehingga hasil-hasil pekerjaan dapat
lebih terstruktur, tepat guna, dan berhasil guna.
Harus
diakui bahwa telah banyak pencapaian yang berhasil dicapai emerintah provinsi.
Namun disisi lain, kompleksitas dan kebutuhan pembangunan juga harus diakui
makin kompleks sehingga capaian kinerja provinsi tersebut kurang terasa
signifikansinya. Secara umum tingkat keberhasilan Kinerja Pemerintahm Daerah
Provinsi Banten menurut penilaian responden biasa saja. Namun ada beberapa
bidang yang kinerjanya dinilai kurang berhasil, yaitu di bidang
ketenagakerjaan, kemiskinan, harga kebutuhan pokok, korupsi, dan pendidikan. Sedangkan
lima program yang diharap dapat dituntaskan oleh provinsi adalah program
pendidikan, masalah kemiskinan, korupsi, harga kebutuhan pokok, dan
ketenagakerjaan.
Gambaran
mengenai permasalahan dan tantangan tersebut paling tdak harus menjadi cambuk
bagi pemerintah provinsi Banten untuk mengubah policy dasar dalam
pelaksanaan pembangunan melalui optimalisasi
kerjasama daerah.
BAGIAN 2 :
DINAMIKA POLITIK DAN DEMOKRASI LOKAL
A.
Sisi Gelap Demokrasi kita
Sebagaimana
idealitasnya Hobbes. Demokrasi kita hanya berkualitas secara procedural saja,
tetapi sangat buruk secara substansial. Machiavelisme pun sudah mendarah daging
dalam praksis politik para politisi kita dan akhirnya demokrasi kita
terbelenggu oleh kekuatan kapitalis dan feodalisme itu dan akhirnya tidak mampu
menjadi fundamen bagi terbangunnya good governance yang bersendikan
transparasi, akuntabilitas, partisipasi, dan supremasi hukum. Memang
sesungguhnya, bukanlah demokrasinya yang salah, kendati memang ada yang salahdalam
praktek kita saat ini! Mengapa? Karena demokrasi gagal mengejawantah seperti
yang dicita-citakan Nehru (1960) bahwa “Democracy are means to an end, not the
end itself”. Karena demokrasi hanyalah sekedar cara, maka bukanlah cara yang
telah sempurna, sehingg membutuhkan penyempurnaan dari waktu ke waktu. Dengan
kata lain, kedewasan demokrasi suatu bangsa adalah hasil dari proses oanjang
yang relative berbeda-beda antar bangsa. Ide demokrasi oun tidak tunggal, namun
berkembang sejalan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya. Kendati
demokrasi berkembang dalam modusnya, namun prinsip dasarnya yang bertujuan
menjunjung tinggi kedaulatan rakyat tidak pernah berubah. Itu sebabnya
demokrasi membuka pintu bvagi siapapun untuk menggunakan hak pilihnya tanpa
membedakan suku, ras, agama, golongan, status atau label apapun yang melekat
dalam dirinya seperti tukang becak, buruh, sopir, nelayan, petani, orang
miskin, orang kaya, pejabat, anak gubernur, pemain sinetron, atlet, penyanyi
dangdut, dan sebagainya. Inilah keunggulan demokrasi karena tidak pernah
membedakan status setiap manusia dihadapan demokrasi. Namun untuk dapat
berdemokrasi secara utuh pun haruslah disertai prasyarat utama berupa
kecerdasan dan kemurnian nurani rakyat sebagai pemilik kedaulatan yang sah.
Bila tidak seperti itu, maka demokrasi akan berubah menjadi mobocracy seperti
yang diingatkan oleh Aristoteles, yaitu demokrasi dilaksanakan di tengah
masyarakat yang bodoh, tak terpelajaratau masyarakat yang memiliki akhlak
buruk, mudah disuap. Karena alasan inilah yang menjadi keunggulan demokrasi itu
sebagai “the dark side of democracy”
Karena
kesempatan belajar itu teah cukup banyak tersedia bahkan dialami langsung oleh
seluruh masyarakat Provinsi Banten, sejak pemilu 1999, 2004, dan 2009 yang
gagal melahirkan DPRD yang benar-benar mamou menjadi wakil rakyat. Kenyataannya
justru terbalik bahwa DPRD kita cenderung berperan sebagai wakil partainya!
Kita juga telah belajar dari setiap penyelenggaraan Pilkada di hampir seluruh
kabupaten/kota dan Provinsi di Banten sejak tahun 2005 yang menjelaskan dengan
sangat nyata berkuasanya moneycracy sehingga mampu membeli kedaulatan demos
yang bodoh, penakut dan terbelakang itu. Tidak sedikit orang yang
menuhankan popularitas sebagai sarana untuk mencapai kekuasaan. Popularitas
kemudian.
B. Ijasah Palsu Diantara Caleg Kita
1. Pendahuluan
masih
ingatkah kita tentang fenomena ijasah palsu yang merebak pasca pemilihan bupati
lebak pada tahun 2003 yang muncul kembali pada pilkada 2008? Ingat pula kah
kita dengan sejumlah kasus ijasah palsu pada proses pencalegan pada pemilu
2004? Itulah sebagian wajah ketidak jujuran yang masih menjadi bagian dari
praktek politik di negeri ini. Demikian kira-kira wajah itu masih nampak
sekarang, dan seperti nya belum akan banyak kemajuan.
2. Palsu dan aspal
Secara
empiris, palin tidak berdasarkan pengalaman pemilu 2004, fenomena ijasah
bermasalah dalam proses pencalegan pada umum nya muncul dalam dua bentuk, yaitu
ihjasah yang memang benar-benar palsu dan ijasah yang asli tapi palsu(aspal).
Ijsah palsu sepenuhnya terjadi karena kesengajaan pelaku nya barapa tindakan
pemalusuan terhadap satu atau beberapa bagian dari ijasah sedemikian rupa
sehingga terkesan asli,sebagai mana pengertian umum dalam KUHP yaitu membuat
sesuatu yang isisnya tidak sesuai dengan aslinya misalnya dengan cara
mengurangi,menambah,atau merubah seluruh atau sebagian dari yang di palsu,atau
mengadakan/ membuat sesuatu yang tidak ada fakta/kebenarannya.
Ijasah
aspal terjadi karena ada kerjasama dua pihak, yaitu pelaku dan instansi terkait yang melegalkan terjadinya penerbitan
ijasah secara sah namun tidak dapat dipertanggungjawabkan. Disebut asli karena
memang fisik,dan yang mengesahkan ijasah itu benar-benar asli. Dan di sebut
palsu karena umunya prosesnya tidak benar sehingga isinya pun tidak sesuai dengan
kenyataan pada pemilik ijasah nya. Kata kategori jenis kedua ini secara hukum
dan administratif adalah sah,namun proses nya cacat sehingga hasilnya tidak
dapat dipertanggung jawabkan.ini kira-kira yang juga dapat kita pahami dari
fenomena dan disk kursus tuduhan ijasah palsu beberapa pejabat publik kita
beberapa waktu lalu. Kebijakan pemerinatah memalui program ujian persamaan dan
paket A,B, dan C ternyata tak bebas dari praktek “jual-beli” ijasah tersebut.
Seseorang yang harusnya mengikuti tahapan-tahapan kelas sebagai mana sekolah
sebenarnya, serta kegiatan belajar mengajar dalam intensitas dan dengan norma
tertentu, dalam prakteknya dapat hanya sekedar “titip” tanda tangan atau bahkan
tidak hadir sama sekali. Paraktek ini makin mewabah ketika ternyata fenomena
mengikuti hukum supply dan demand, dan
celakan nya lembaga pendidikan merespon ini sebagai peluang bisnis yang sangat
menjanjikan.
3.
Kegagalan Partai
Lolos
nya sejumlah caleg bermasalah dan dengan ijasah bermasalah dalam pandangan saya
merupakan indikasi dari kegagalan aprpol dalam melakukan kaderesasi dan
rekrutmen politik. Rekrutmen politik sepenuhnya merupakan domain parpol, tugas
dan tanggung jawab parpol, buka kpu. Kpu hanyalah instansi yang memfasilitasi
roseses kontestasi politik berdasarkan UU. Andaikan tradisi politik, fungsi dan
mekanisme parpol berjalan baik, mustahil sejumlah caleg dengan terack record buruk itu dapat lolos.
Artinya sekali lagi,parpolah yang harus bertanggungjawab terhadap hal
ini,dengan cara menarik kembali dan atau membatalkan calon-calon yang memang
ijasahnya bermasalah tersebut.tidak dapat dipungkiri bahwa disamping lemahnya
fungsi dasar parpol,masalah ini juga muncul karena adanya kecenderungan
pragmatis parpol-parpol kita yang lebih mementingkan modal pinansial pare caleg
dari pada modal sosial, integritas, dan kapasitas yang dimiliki. Akibatnya,
tidak seikit parpol yang mengesampingkjan pentingnya pendidikan politik dalam
rangka kaderarisasi karena berkeyakinan bahwa partai ibarat perahu menuju kursi
kekuasaan. dan sebagai perahu, pasti ada yang berminat dan bersedia membeli
tiket brapapun harganya, agar bisa menaiki perahu itu untuk mengadu peruntungan
menuju kursi kekuasaan.
Politik
memang dinamis, tidak sedkit dinamika nya itu mndorong kemajuan kendati tidak
sedikit pula yang dekonstruktif dan mengarah pada kemunduran. Dinamika ekstra
parlementer yang mneginginkan sistem perolehan suara terbanyak pada akhirnya
menekan parpol-parpol dalam parlemen untuk secara “inkonstitusional” mengakui
dan menerapkan sistem suara terbanyak itu, yang menjadikan UU No.10/2008 yang
baru saja mereka sah kan itu menjadi lemah, dan tidak lagi legitimate. Fenomena itu paling tidak memperkuat stigma kegagalan
partai dalam membina pilar-pilar kehidupan politik yang sehat dan konstruktif.
Fenomena
ijasah palsu dan aspal sepertinya tidak akan pernah tuntas selama kita belum
secara sungguh-sungguh peduli pada dunia pendidikan. Bagaimanapun, itu terjadi
salah satu nya karena “rusaknya” idealisme para penyelenggara pendidikan kita,
walaupun mungkin fenomena nya hanya nila setitik namun rusak susu sebelanga.
Sinyalemen itu tentu bukan bermaksud
menjadikan sekolah dan perguruan tinggi sebagai kambing hitam atas segala
kebokbrokan yang terjadi. Setidaknya terkandung pesan moral bahwa ketidak
pedulian kita ternyata harus di bayar mahal dengan terus muncul nya caleg-caleg
bermasalah, tidak berkualitas, serta bermoral dan bermotivasi buruk,hingga
mengakibatkan urusan-urusan publik menjadi semakin salah urus dan tidak tidak
berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pilihan pada caleg yang concern
terhadap persoalan pendidikan harus menjadi agenda utama karena keyakinan
bahwa infestasi terbaik bagi prosese perubahan yang berararti adalah melalui
pendidikan yang kokoh dan berkualitas. Termasuk dalam pemilukada 2011 di
provinsi banten nanti. KPU harus membuka dan menuruskan indikasi kepalsuaan itu
kepada panwaslu guna di selidiki. KPU pun harus membuka akses seluas-luasnya
bagi seluruh masyarakat tentang daftar caleg yang ada beserta seluruh track record nya, agar masyarajat
berkesempatan untuk melakukan uji publik terhadap mereka. Dengan cara ini, KPU
akan di hormati dan di akui integritas nya oleh masyarakat karena keberpihakan
nya pada kebenaran, kejujuran,keterbukaan dan moralitas demokrasi yang bersendi
pada kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan partai. Selamat bekerja dan
berhati-hati. Jangan biarkan caleg berijasah palsu bergentanyangan dalam pemilu
2009. Jangan lupa biarkan calon kepala daerah berijasah aspal menipu kita lagi.
4.
Memahami hakikat golput dalam
demokrasi
Sebagaimana
diberitakan salah satu media cetak lokal akhir juli lalu (31/707/2009), serta
pernyataan serupa dari KH. Hasim Mujadi saat kunjungan nya ke serang pada waktu
yang berdekatan. Tanpa bermaksud “menghakimi” pernyataan kedua ulama yang saya
cintai yersebut, penulis merasa perlu untuk menghadirkan persefektif lain juga
me,enuhi tanggungjawab untuk melakukan check
and ballances dalam kehidupan politik dan demokrasi kita. “Tiada
asap tanpa api”, demikian kira-kira pepatah yang tepat untuk memahami
eksistensi golput. Golput tidak terjadi secara serta merta, tanpa ada
penyebabnya. Inilah fakta empiris yang harus nya kita rujuk untuk melihat
fenomena golput itu secara komporensif,tanpa terjebak pada sikap salah
menyalahkan apalagi haram-mengharamkan betapa pun benar bahwa tindakan golput
itu cenderung mubajir karena tidak akan menghasilkan perubahan apapun, namun
eksistensi nya yang kontekstual seiring dengan dinamika perjalanan sejarah
setiap bangsa itu tidak dapat dna tidak boleh di genaralisir sebagai salah
keseluruhannya. Karena perbedaan konteks inilah maka masyarakat harus jelih dan
obyektif mensikapi fenomena golput, hususnya hal-hal yang melatar belakangi
kemunculan golput di tiap periode pemilu. Pada pemilu 1955, di tengah maraknya
kehidupan kepartaian di indonesia, golput muncul karena di dorong oleh
perseteruan yang cenderung saling intimidatif antara kaum unitaris dan kaum
federalis. Semetara golput pada tahun 80-an hingga 90-an, lebih di
latarbelakangi karena adanya “paksaan” yang sistenmatis untuk memlih golkar
sebagai partai pemerintah.
Akhirnya gerakan golput menjalani pilihan bagi orang-orang yang
takut memilih partai lain di luar golkar. Golput pada era ini lebih di motivasi
oleh semangat perlawanan terhadap rejim otoriter, yang tidak memberi ruang
gerak bagi masyarakat untuk berekspresi, berpolitik dan bersikap beda. Dan
semangat ini tetap mewarnai gerakan golput setidak nya hingga akhir era 90-an.
Demikian pula golput pada pemilu 2004 yang secara umum lebih di picu oleh
kekecewaan terhadap elit-elit partai nya serta pada pemerintah yang dianggap
tidak mampu memperbaiki nasib raktyatnya. Disamping itu, terjadinya polarisasi
kepemimpianan politik dalam masyarakat pun mendorong tejadinya golput atas
dasar simbiosis antara patrol dan celint nya mana kala sang patrol tidak
terakomodasi dalam struktur politik tertentu. Kekecewaan kepada pemimpin dan
elite partai tidak serta merta membuat mereka pindah partai, umumnya sekedar
menunda memilih sembari menunggu munculnya figur-figur yang mereka sukai, dan
kalau pun pindah partai suatu saat dapat pulang kandang karena fanatisme yang
bersifat laten. Budaya patrol celint
yang masih sangat kuat serta tipologi budaya karena ideologi “tidak
memungkinkan” orang dengan mudah pindah parpol. Ditenganh fenomena inilah maka
di samping golput muncul pula fenomena makin nyata dan besarnya jumlah swinging foter , yang seberapa di antara
nya cenderung kritis, non ideologis, ataupun pragmatis. Bila sampai saat nya
mereka tidak menemukan pilihan, maka cenderung menjadi golput oleh sebab
ketiadaan wadah (parpol) dan atau figur yang dapat dipercayai nya untuk membawa
perubahan.
Fenomena diatas tentu menjelaskan perilaku pemilih dalam konteks
parpol,yang tentu sangat berbeda dengan pilkada dengan yang lebih merupakan
kontestasi figur dari pada parpol. Itu seabbnya kenapa pilihan pada parpol
tertentu hampir sealalu tidak berkolerasi dengan pilihan pada figur calon
kepala daerah tertentu. Dan larena fakta inilah maka secara empiris golput
dalam pilkada sering kali unmredictabe
karena menyangkut apresiasi subyektif pemillih terhadap calon yang dikenal baik
terac record nya.
5.
Persefektif teori
Dalam
teori politik, golput (non voting
behaviour) dipahami sebagai bentuk partisiapsi politik warga negara yang
muncul karena beragam latar belakang. Memilih adalah hak (right) politik warga negara
yang byitsnature mengandung arti legal or moral ntit lement (authority to achte), yang mengandung
kebebsan pemilik hak iyu untuk menggunakan atau tidak menggunakannya. Bukan
kewajiban (duty) yang mengandung makna moral
or legal obligation. Karena assensi filosofis inilah maka demokrasi yang
bersendi kedaulatan rakyat,dan yang setiap orang legallhy equal hak-hak politiknya memberi ruang bagi pilihan untuk
golput secara setara denag pilihan untuk memilih itu.harusnya para pemimpin
membuka mata hatinya mana kala menemukan kenyataan golput,betapapun kecil
jumlahnya.karena golput mengindikasikan adanya gejala;(1)perlawanan terhadap
rejim yang ada;(2)ketidakpercayaan terhadap sistem dan calon yang
ada;(3)kekecewaan yang besar terhadap pemerintah dan sistem yang;serta
(4)putusnya harapan rakyat akan lahirnya sistem dan kepemimpinan yang mampu
mengayomi mereka.dan terkadang,hanya dengan cara demikian kemapanan demokrasi
yang mengandalkan berfungsinya check and ballances itu dapat tercipta ,kendati
tidak selalu demikian adanya. Dalam konteks sosiologi politik,dijelaskan empat
sebab sikap golput,yaitu: (1) apatisme politik,yaitu sikap tidak berminat atau
tidak menaruh perhatian terhadap orang,situasi, atau gejala-gejala umum yang
berkaitan dengan persoalan politik dengan kelembagaannya;(2) sinisme politik
merupakan sikap yang dimiliki sebagai penghayatan atas tindakan dan motif orang
atu lembaga lain dengan perusahaan curiga; (3) aliensi merupakan perasaan
keterasingan dari kehidupan politik dan pemerintahan,sehingga selalu memandang
segenap peraturan yang ada sebagai tidak adil dan mengutungkan penguasa; dan
(4) anomi yaitu perasaan kehilangan dan orientasi hidup,sehingga tak
bermotivasi untuk mengambil tindakan yang berarti karena hilangnya kepercayaan
terhadap lembaga-lembaga politik yang ada.
Kisah
yang diceritakan dalam surah Al-Kahfi ayat 9-26, merupakan menisfestasi dari
keimanan dan kepasrahan total kepada Allah atas kesadaran akan
ketidakmampuannya untuk melawan,mengubah,atau sekedar untuk hidup bersama
sistem yang kufur dan dibawah pemerintahan yang korup dan dzalim. Dan ditengah
kesadaran itu,mereka memilih ‘golput’dengan cara menghindari dan menjauhi
sistem dan kehidupan yang kufur itu.tak pelak lagi,kendati dengan konteks yang
berbeda,menjadi golput itu sangat di-halal-kan,kendati tetap saja membutuhkan
pemikiran mendalam guna dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan
legal.golput hanya boleh dilakukan ditengah ketiadaan celah untuk melakukan
perubahan yang lebih baik,termasuk pula ketiadaan pilihan yang lebih baik
kendati diantara alternatif pilihan yang buruk.golput adalah salah satu
instrumen gerakan moral rakyat yang dilakukan dengan cara mengekspresikan
sikapnya dengan tidak berekspresi[silent movement].dan harusnya,tanpa harus
menunggu menjadi silent majority,pemimpin dan elite politik harusnya mampu
membuka mata,hati,dan telinganya untuk berintrospeksi guna memahami gejala
public distrust dan mass disobedience ini guna lebih mengabdikan dirinya bagi
sebesar-besar kemaslahatan rakyat.kalaupun ini tidak terjadi,yakinlah bahwa
golput tidak pernah menjadi sia-sia dimata Sang Maha Penguasa.
Bagian 3 :
1.
Elit Senteris,Curi Start,Dan Etika
Politik
Praktek
doel heillgt de middelen atau tujuan menghalalkan cara aromanya sangat
menyengat dan dengan mudah mudah kita indera disetiap sudut dan
kesempatan.bukan karena berpengaruhnya ajaran niccolo machiavelli tentang the
end justified the mean seperti dijelaskan dalam buku il principe
karangannya,tetapi karena memang secara alamiah manusia memili sifat-sifat
hewani yang sering mengajaknya memberontak terhadap nilai-nilai moral,serta
sekaligus sifat ketuhanan yang hanief.dalam il principe yang merupakan kompilasi
saran untuk penguasa lorenzo de’medici,machiavelli menganjurkan bahwa untuk
tetap disegani dan mempertahankan kekuasan,seorang penguasa harus pandai
membangun koalisi,melakukan show of force untuk menunjukan bahwa dirinya lebih
kuat bahkan terkuat.seorang penguasa pun harus menebar rasa takut pada
rakyatnya guna menekan potensi untuk mbalelo,disamping ajaran bahwa sepanjang
hasilnya baik dan untuk kebaikan,maka cara apapu adalah sah untuk
ditempuh.tulisan ini hanyalah refleksi dari kegelisahan penulis yang muncul
dalam posisinya sebagai warga negara yang tengah gelisah melihat proses
demokrasi yang berlangsung cenderung menjadi mobocracy bahkan democrazy.paling
tidak kegelisahan ini dapat menjadi kegelisahan bersama manakala dapat di-share
dalam ruang publuk ini.
2.
Elit sentris
Hampir
seluruh proses penjaringan calon gubernur banten[2006] bermuara disatu atau
beberapa tangan saja.ada yang proses konvensinya berjalan baik,namun hasilnya
mengabaikan proses yang terjadi karena intervensipimpinan pusatnya.ada yang
mekanismenya baik,namun hasil akhirnya tiba-tiba dipilih dari orang yang tidak
pernah ikut penjaringan sehingga secara logis sulit dibenarkan.ada yang pat
gulipat menggelegar rapat khusus,namun tidak untuk melakukan penjaringan
melainkan pagi-pagi mendukung satu calon saja dan taklid dengan satu Calon itu
seolah-olah hanya sang ratu adil itulah yang dapat mengubah semuanya dengan sim
salabim.ada lagi yang merasa perahunya tidak cukup besar [baca;takut kalah]
sehingga mendorong stok perahu yang ada mengantarnya berlayar dalam pilkada
sekaligus show of force seperti kata machiavelli.dan ada lagi yang ribut antar
sedulur-sebatur karena merasa berhak mencalonkan dengan mengabaikan mekanisme
pertania yang harusnya dijunjung tinggi.inilah gambaran nyata elite-dominated
democracy itu,lalu dimana peran rakyat.hhmmm,seperti biasa,kedaulatan rakyat
hanya pada waktu pencoblosan,itupun dengan harga maksimal limapuluh ribu rupiah
dan dengan dipaksa untuk memilih yang terbaik dari yang terburuk karena sistemnya
memang tidak mampu menjaring pribadi-pribadi yang baik dan calon-calon dengan
prestasi terbaik.
3.
Telaah Kritis Rancangan RPJP Kota Serang Tahun
2008-2025
Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) Dareah merupakan keniscayaan sebagia dokumen perencanaan jangka panjang
yang berfungsi memberi arah bagi tercapainya kondisi yang diharapkan 20 tahun
ke depan. Kebutuhan akan RPJP juga merupakan manifestasi dan implementasi
amanat UU No.25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU
No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No.17 Tahun 2007 Tentang
RPJP Nasional Tahun 2005-2025.
Kota Serang yang baru terbentuk pada
tanggal 10 Agustus 2007 melalui UU No.32 Tahun 2007 juga membutuhkan RPJP Kota
sebagaimana daerah otonom lainnya. Kendati merupakan daerah otonom baru, tidak
berarti bahwa Kota Serang dapat berdiri sendiri dalam menyusun perencanaanya,
karena bagaimanaapun Kota Serang merupakan sub sisetem dari sistem sosial,
budaya, ekonomi, politik, dan ekologi regional dan nasional.
Tak dapat dihindarkan, dengan populasi
lebih dari 500 ribu jiwa Kota Serang secara tiba-tiba telah berstatus sebagai
kota besar dalam perspektif kependudukan. 6 wilayah kecamatan kota Serang yang
pada tahun 2005 berpenduduk 513.972 jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata
34,26 jiwa/Ha dan growth berkisar 5%, maka pada akhir tahun 2007 diproyeksikan
akan mencapai 543.474 jiwa dengan densitas mencapai 36,23 jiwa/Ha. Dan dengan
asumsi ceteris paribus, maka dapat dipastikan dalam waktu 7 hingga 10
tahun, demsitas kota Serang akan mencapai lebih dari 50 jiwa/Ha. Sebagai kota
hasil pengembangan dari kawasan Induknya maka ciri-ciri mendasar dari rencana
pemanfaatan induk kabupaten induknya, mengingat bahwa kendati seacara
administratif Kota dan Kabupaten Serang adalah wilayah yang otonom, namun
secara ekologis merupaka wilayah yang saling tergantung (interdepedency). Maka dari itu Kota serang harus memperhatikan
aspek- aspek ekologis yang harus diperthankan, seperti : pertama, karakter wilayah serang tengah yang berfungsi sebagai
pusat pemerintahan, permukiman, perkotaan, pelayanan perdagangan dan jasa,
pusat koleksi dan distribusi. Kedua, karakter
kawasan Lindung yang berfungsi sebagai kawasan penyangga (buffer zone)wilayah yang membentang dari wilayah utara (Bojonegara,
Pulomerak) ke selatan (Padarincang, Ciomas) seluas 36.989,84 Ha. Ketiga, karakter kawasan budidaya pertanian yang mana
mencangkup 23 Desa didalamnya. Maka tak lagi diragukan bahwa pengembangan kota
Serang bertumpu pada pertanian dan perikanan, kanyataannya 4 dari 6 kecamatan
di Kota serang lebih sebagai wilayah pedesaan. Dengan demikian, pembangunan
Kota Serang ke depan sebaiknya mempertahankan karakter alamiah sebagai Kota
bercitarasa Desa, bukan sebaliknya.
Harus diakui bahwa pembentukan kota
serang itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan politik sebagai implikasi dari
pembentukkan Provinsi Banten. Bagaimana pun, Kota Serang tidak boleh menjadi
(meniru) kota Cilegon dan Tangerang karena Kota Serang memiliki karakter
tersendiri. Kota Serang harus tetap mampu mempertahankan cirinya sendiri
sebagai kota ‘agraris’ untuk menuju Kota Serang Madani (Maju, Adil, Damai, sejahterA, moderN, dan Islami) pada 2025.
4.
Kado Ulang Tahun Kota Serang yang ke-3
Tanggal 10 Agustus ini Kota Serang
memasuki usianya yang ke-3, setelah terbentuk melalui UU No.32 Tahun 2007. Dari
awal pembentukan kota Serang banyak wajah yang mewarnai kota Serang, apalagi
faktanya Kota Serang dibentuk lebih untuk memenuhi kebutuhan politik, belum
lagi angka kemiskinan yang cukup tinggi.
Kini di usianya yang ketiga,
sejumlah masalah diatas menjadi bagian inheren dari wajah kota saat ini.
Kemiskinan bertambah hingga 20.984 KK (BPS), atau 28.320 KK menurut versi p2KP
dan 129.000 jiwa menurut versi Dinas Kesehatan. Sejumlah masalah itu disinyalir
karena visi dan misi sebagaimana tertuang dalam RPJPD dan RPJMD tidak membumi,
tidak realistis dan tidak berdasarkan fakta dan masalah yang ada di Kota
Serang.
5.
Wacana Putra Daerah dalam Prespektif Otonomi dan
Pembangunan Daerah
“...bahwa dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah,
dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran
serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah” (UU No.22/1999). Sepenggal kutipan tersebut
mengisyaratkan bahwa betapapun besarnya kewenangan dalam otonomi daerah namun
harus tetap berada dalam koridor sistem nilai yang bersifat universal. Otonomi
Daerah pada hakikatnya adalah kewenangan daerah untuk secara otonom mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat guna meningkatkan harkat hidup
masyarakat di daerah tersebut.
Pembangunan daerah dalam era otonomi
memiliki ruang lingkup yang sangat kompleks mengingat cukup luasnya cakupan
kewenangan yang dilimpahkan kepada pemda setempat sebagaimana diatur dalam
pasal 7-13 UU No.22/1999. Kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan,
moneter, fiskal,agama dan kewenangan lain diatur secara nasional, maka seluruh
kewenangan dalam bidang pemerintahan dan pembangunan daerah menjaddi tanggung
jawab dan kewenangan daerah.
6. Keterbukaan
Informasi Publik: Tantangan dan Urgensi di Banten
Tak banyak orang
menyaddari bahwa lahirnya UU NO 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi
Publik pada tanggal 30 April 2008 lalu tak lepas dari kontribusi Provinsi
Banten didalamnya. Tidak langsung memang, namun eksistensi dan keberhasilan
dari komisi Transpalansi dan Pertisipasi (KTP) di Kabupaten Lebak diakui secara
nasional sebagai salah satu best practice
yang mendasari kelahiran UU KIP dilahirkan, ditengah diskursus pro dan
kontra urgensi Kebebasan Meraih Informasi Publik (KMIP) pada sekitar 7 tahun
lalu.
Hak atas informasi (right to know) merupakan bagian tak
terpisahkan dari freedom of expression yang
telah menjadi salah satu isu utama para perumus Deklarasi Umum tentang Hak
Azasi Manusia. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan menilai
bahwa hak ini memiliki peran yang sangat penting bagi perjuangan hak-hak azasi
lainnya, sehingga memiliki karakter sebagai fundamental
right.
Sebagai fundamental right, hak atas informasi
tidak tergolong dalam nonderogable rights
yaitu hak yang dapat dikurangi dalam
keadaan apapun. Dengan demikian, pelaksanaan atas hak ini dapat dibatasi dengan
pertimbangan tertentu karena pelaksanaan hak ini menimbulkan kewajiban dan
tanggung jawab khusus, yang dengannya dapat dikenakan pembatasan tertentu.
Bagian
4 :
1.
Menimbang Gagasan Megapolitan
Diskursus mengenai megapolitan
sempat menyita perhatian masyarakat dan elit di Banten, tidak saja dalam
prespektif subyek yang terlibat didalamnya namun juga berbagai spekulasi yang
berkembang seputar perdebatan mengenai megapolitan itu. Mulai dari soal
spekulasi skenario pencaplokan wilayah, hilangnya sumber PAD daerah, hingga
perdebatan mengenai eksistensinya dalam konteks UU Pemerintahan Daerah yang
berlaku.
Megapolitan merupakan kawasan yang
terintegrasi dalam satu jaringan hubungan antara wilayah induknya
(metropolitan) dengan wilayah sekelilingnya (micropolitan). Istilah megapolitan
itu sendiri terlacak pertama kali digunakan oleh Jean Gottman pada tahun 1961
dengan istilah “megapolis”. Istilah itu sering dikaitkan dengan konsep
sosiologi yang menggambarkan tahap-tahap perkembangan kota mulai dari
mikropolis, metropolis, kosmopolis hingga nekropolis.
2.
Wajah Pendidikan di Era Otonomi Daerah
Amerika Serikat adalah negara
adidaya yang meyakini bahwa superioritasnya dalam hubungan antar bangsa
terletak pada keunggulan SDM nya dalam bidang ilmu, pengetahuan dan teknologi.
Begitu besarnya perhatian terhadap pendidikan sangat nampak dari kesungguhan
mereka dalam melakukan reformasi pendidikan secara terus menerus, dan
berkelanjutan.
Dalam minggu pertama setelah
dilantik sebagai presiden untuk periode pertama, George W. Bush mencanangkan
program reformasi pendidikan di negaranya, justru pada saat pendidikan berada
dalam puncak performanya paska Clinkton. Bandingkan dengan pendidikan di
Indonesia yang dalam 60 tahun baru berhasl merefomasi pendidikannya melalui perubahan UU
Sisdiknasnya, itupun dengan demonstrasi besar-besaran yang mengahbiskan energi.
Pendidikan adalah sarana
mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan amanat konstitusi yang dengan
tegas sinyatakan sebagai salah satu tujuan pembentukan negara RI sebagaimana
dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945 bahwa : “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Republik
Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mecerdaskan kehidupan
bangsa, dan...”
Sejak
thun 1984, program wajib belajar enam tahun (Wajar Diknas 6 Tahun) nampaknya
belum benyak memeberikan kesempatan bagi seluruh anak Indonesia. Angka anak
yang belum terjangkau pendidikan dasar
masih cukup besar, penyandang buta huruf (PBH) pun tak juga dapat
diberantas karena setiap tahun angka putus sekolah yang berpotensi menjaddi PBH
mencapai hampir satu juta anak usia SD. Dalam konteks Banten, paska
terbentuknya Provinsi Banten pada tahun 2000 hingga kini, pemerintah belum
mampu menjamin pendidikan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat Banten. Angka
putus sekolah semakin meningkat, demikian juga angka anak usia sekolah yang
tidak mampu melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi.
3.
Catatan Kritis terhadap LKPJ Gubernur Tahun 2007
Tanggal 30 Maret 2008, Gubernur
menyampaikan Laopran Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) pelaksanaan tugasnya
selama tahun 2007. Yang menarik dari LKPJ ini adalah nilai pelaksanaan tugas
yang diklaim mencapai 92,66 yang berarti nyaris mencapai nilai sempurna. Sesempurna
itukah kinerja gubernur ?
Sebagai wujud dari amanat UU No.32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 27 ayat (5), serta amanat
Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah (LPPD) Kepala Daerah kepada DPRD, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban
(LKPJ) Kepala Daerah kepada DPRD, dan Informasi Laporan Penyelangaraan
Pemerintahan Daerah kepada masyarakat. Beradasarkan PP No.3 Tahun 2007, LKPJ
sekurang-kurangya harus menjelaskan mengenai 5 (lima) aspek, yaitu :
1) Arah kebijakan umum pemerintah daerah;
2) Pengelolaan keungan daerah secara makro;
3) Penyelenggaraan urusan desentralisasi;
4) Penyelenggaraan tugas pembantuan;
5) Penyelenggaraan tugas umum pemerintahan.
Beradasarkan
pemahaman teoritis dan yuridis, ada beberapa temuan menarik yang dapat
disimpulkan dari LKPJ Gubernur. Terkait dengan metode penyajian ada 2 (dua) hal
menarik, yaitu :
1. Penyajian LKPJ nyaris tidak dapat
dibedakan dengan LPDP maupun LAKIP, shingga tidak mampu menjelaskan mengenai
dinamika Penyelenggaraan Pemerintah secara utuh
2. Pengukuhan kinerja indikator Prioritas
Daerah (IPD) tidak konsisten dengan pendekatan sebagaiaman diatur dalam
keputusan Menteri Pendayagunaan Apatur Negara Nomor: KEP/135/M.PAN/9/2004
tentang pedoman umum evaluasi laporan akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah, serta keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor
:239/IX/6/8/2003 tentang Perbaikan Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah.
4.
Pasir Lontar, Mbah Marijan, dan Hati Nurani
Tak
terasa telah setahun berlalu sejak Pilkada Kabupaten Serang yang penuh
ketegangan,‘tipu muslihat’, dan tentu menyedot perhatian luar biasa dari
seluruh elemen masyarakat. Bahkan tidak sedikit peneliti yang menjadikannya
sebagai objek penelitian, kurang lebih dengan ‘hipotesis; yang nyaris sama.
Polemik
soal penabangan pasir di Lontar nampaknya belum akan berakhir, walaupun
interpelasi berakhir antiklimkas. Bahkan ada kecendrungan persoalannya makin
meluas, bergeser, dan tidak lagi terfokus pada inti masalah yang sebenarnya.
Berbagai spekulasi muncul, mulai dari motif politik, ekonomi, hingga
perssaingan usaha. Di masyarakat, mulai ada gejala penggunaan cara-cara tidak
sehat dalam menyelesaikan masalah, mahasiswa yang anti penambangan konon
‘diteror’ dengan sejumlah SMS ancaman hingga statemen keras bernada mengancam
dari petinggi kabupaten ini. Bahkan konon sejumlah intel dari kesatuan ‘telah
dimobilisasi’ untuk mengendus dalang dan motivasi bergolaknya kembali Pasir
Lontar.
Masyarakat
seolah diarahkan untuk permisif terhadap aktivitas pengerukan pasir itu, tidak
soal apakah saat ini sudah dikeruk atau belum, prosedural atau tidak. Dengan
terbitnya ijin pengerukan itu saja telah membuktikan buruknya moralitas publik
pemerintah dalam menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup yang menjadi
tempat bergantungnya hajat hidup orang banyak yang tidak hanya berdimensi saat
ini namun juga masa depan.
Tak
ada hubungan (langsung) memang antara ketegangan warga lereng merapi yang
‘terbatuk-batuk’ dengan ketegangan warga Lontar dan berbagai elemen masyarakat
Serang saat itu, walaupun secara simbolik marahnbya merapi itu harusnya menjadi
ibroh bagi kita dalam berhubungan dan
mengelola SDA dan LH. Ibroh ini
disarikan dari Mbah Marijan yang fenomenal, yang kostinten dan kekuatan keyakinan
mampu meruntuhkan kharisma dan ‘kekuasaan’ Sultan
Ngayogyokarto Hadinigrat. Terlepas dari keyakinan macam apa yang dianutnya,
serta terlepas dari penalaran scientific atas fenomena geologis dan
vulkanologis yang kita pahami, namu kesederhanaan hidup, kebersihan hati, dan
keikhlasan dalam menjalani tugas hidupnya sebagai kuncen Merapi, cukup menggambarkan kewibawaan dan nilai-nilai
kearifan lokal yang patut direnungkan.
5.
Yang Tertinggal dari LKPJ Gubernur 2009
Pada
tanggal 28 April 2010 DPRD Banten telah menyampaikan tanggapannya terhadap LKPJ
Gubernur tahun ke-3 kepemimpinannya yang disampaikan di hadapan DPRD Provinsi
Banten pada tanggal 29 Maret 2010. Berbagai tanggapan publik pun disampaikan,
baik melalui forum ilmiah, media, maupun bentuk ekspresi massa dalam beberapa
unjuk rasa. Terlepas dari diskursus itu, sejumlah prestasi patut secara
obyektif diapresiasi kepada Gubernur dan segenap jajaran Pemprov Banten karena
jerih payahnya telah mendedikasikan sinyal-sinyal positif terhadap
keberlangsungan pembangunan yang lebih baik di masa mendatang.
Secara
umum terdapat tiga kelemahan yang secara eksplisit nampak dalam LKPJ Gubernur
tahun 2009. Dua kelemahan pertama tidak terjadi pada tahun sebelumnyasehingga
manakala saat ini terjadi, serta merta dianggap ganjil dan memicu kontoversi
yang cukup menyita perhatian publik. Pemrov bahkan menjadi bulan bulanan karena
dianggap dengan sengaja memanipulasi persepsi publik melalui penggunaan
perspektif yang diluar kebiasaan. Adapun ketiga kelemahan tersebut yaitu, pertama, ditemukannya data yang
diragukan validitasnya, seperti klaim keberhasilan menurunkan AKI yang mencapai
11,50% padahal AKI tahun 2009 mencapai
252 kasus/100.000 kelahiran sebesar 226. Kedua,
ditemukannya metode perhitungan capaiannya sama percis yaitu 11,12%; klaim
capaian rumah tangga yang terlayani listrik dan target dan capaiannya juga sama
percis yaitu 707.404 KK. Ketiga, LKJP
tidak menguraikan sejumlah kendala yang dihadapi selama penyelenggaraan
pemerintahan pada tahun 2009, beserta solusi yang diambil oleh Pemprov. Dengan
demikian LKJP lebih mengedepankan informasi kuantitatif yang bersifat
administratif semata, seperti : daya serao anggaran dan capaian-capaian kinerja
yang hanya diukur dalam perspektif perbandingan input-output semata tanpa menjelaskan outcame, impact, dan benefit nya.
BAB
II
PENGKAITAN
MASALAH-MASALAH DI BUKU DENGAN MASALAH MASA KINI
·
Demokrasi menjadi Moneycracy
Setiap
penyelenggaraan Pilkada di hampir seluruh kabupaten/kota dan Provinsi di Banten
sejak tahun 2005, yang menjelaskan dengan sangat nyata berkuasanya moneycracy
sehingga mampu membeli kedaulatan demos yang penakut dan terbelakang. Setiap
diadakannya pemilu atau Pilkada, hampir lumrah sehari atau seminggu sebelum
dilaksanakannya pemilihan, para tim sukses membagi-bagikan amplop atau sekedar
bingkisan ke tiap-tiap desa. Hampir seluruhnya menjelaskan kecenderungan
politik monopoli dan hegemoni yang di tebarkan di Banten, seperti :
1.
Suami gubernur pada tahun itu dapat memimpin partai Golkar provinsi
dengan menyingkirkan sejumlah kader partai yang jauh lebi qualified dan
telah menjalani proses pengkaderan yang panjang
2.
Adik gubernur pada periode itu pula, dapat dengan mudah menjadi
ketua parta Golkar di Kota Serang, juga dengan menyingkirkan sejumlah tokoh
partai Golkar di Kota Serang, juga dengan menyingkirkan sejumlah tokoh Golkar
yang telah makan asam dan garam membesarkan partai.
3.
Setelahnya, Pemilu 2009
telah sangat gemilang mendapatkan adik gubernur yang lain menjadi anggota DPRD
Provinsi Banten yang kemudian menjadi wakil ketua DPRD mewakili partai Golkar
dan dalam Pemilukada Kabupaten Serang terpilih sebagai wakil bupati mendampingi
bupati incumbent Taufik Nuriman.
4.
Juga terpilihnya ibu tiri gubernur sebagai anggota DPRD Kota Serang
yang sekarang menjadi Ketua Komisi IV.
5.
Serta menantunya yang juga menjadi anggota DPRD Kota Serang
6.
Putra pertama gubernur pun terpilih menjadi anggota DPD RI
mengalahkan sejumlah nama besar dan tokoh Provinis Banten
7.
Ibu tiri Gubernur yang lainnya yang terpilih menjadi wakil bupati
Pandeglang pada Pemilukada tahun 2010
Hal ini memang menuai pertanyaan. Apakah ini salah demokrasi ? dan apakah juga salah jika
mereka yang memiliki hibungan kekerabatan dengan gubernur saat itu kemudian
terpilih untuk menduduki jabatan-jabatan politik di Banten
Jawabannya tentu bukan masalah demokrasinya, juga tidak ada yang
salah dengan terpilihnya mereka itu sebagai warga negara dan hak-hak politik
mereka sangat dijamin oleh konstitusi , baik hak dipilih maupun memilih.
Permasalahannya sekali lagi, terletak pada prakondisi demokrasi
yang tidak cukup memadai, sehingga demokrasi kita telah mendekati definisi mobocracy
dan/ timocracy sebagaimana
dikhawatirkan Aristoteles dan Plato sekitar 6 abad M. bahwa
demokrasi kita bahkan telah menjadi moneycracy akibat ketidakmampuan
masyarakat pemilih untuk tidak terpengaruh terhadappemberian yang dimaksudkan
menjadi penyokong pemilih memilih sang calon.
·
Sekolah
Gratis, Mungkinkah ?
Banten
sudah 5 tahun menjadi provinsi namun pendidikan masih saja tertinggal.
Dibeberapa forum terungkap bahwa pendidikan di Banten tertinggal 10-20 tahun
dibandingkan daerah-daerah lainnya yang terdekat seperti Jakarta, Bandung dan
Bogor. Kondisi ini sangat ironis mengingat bahwa Banten sejak awal tahun 1980an
telah bertumbuh dengan pesat sebagai pusat industri yang tentu saja sarat
dengan kebutuhan SDM yang berkualitas. Inilah gap yang nyata terjadi, sementara sektor industri berkembang dengan
sangat pesat di satu sisi, sedangkan di sisi lain daya serap industri terhadap
SDM daerah sangat kecil. Artinya perkembangan sektor industri tidak dibarengi
dengan peningkatan kualitas SDM di Daerah sehingga kebutuhan akan SDM daerah
dipenuhi oleh SDM dari luar daerah, hingga akhirnya masyarakat Banten menjadi
tamu di Negaranya sendiri. Inilah tantangan nyata yang seharusnya jadi
permasalahan kita bersama dalam membenahi dan mengejar ketinggalan sektor
pendidikan. strategi pemerataan; dan (2) strategi percepatan, yang mana
keduanya dilakukan secara simultan dan sinergis. Pemerataan dilakukan dalam
rangka memperkecil jumlah masyarakat yang tidak mampu mengakses pendidikan
melalui kebijakan pendidikan yang pro rakyat miskin. Pendidikan Dasar gratis
nampaknya menjadi solusi ideal untuk strategi pemerataan ini. Sementara
startegi percepatan ditempuh melalui penciptaan pusat-pusat pertumbuhan
strategis pada sejumlah lembaga oendidikan unggulan yang dapat di promote
sebagai centre of exxcelent sekaligus
menjalankan misi trickle down effect
bagi sekolah-sekolah lain.
BAB III
KESIMPULAN
Faktanya bahwa
didaerah banten masih banyak politik yang belum terealisasikan secara optimal. Maka
dari itu perlu adanya kesadaran baik dari pemerintah daerah maupun masyarakat banten
untuk kemajuan dan kesejahteraan provinsi banten,melihat kondisi politik daerah
banten yang cenderung menganut sistem dinasti ini diakibatkan karena otonomi
daerah yang ada di banten kurang melaksanakan koordinasi antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah. Oleh sebab itu pemerintah daerah banten harus
lebih memfasilitai kabupaten/kota diwiliyah bnaten agar tidak ada kecemburuan
antar pemerintah daerah.