• Posted by : Chachacino Senin, 07 November 2016



    BAB 3
    KONSTRUKTIFISME SOSIAL SEBAGAI
    FILSAFAT MATEMATIKA

    Konstruktivisme Sosial
    Dalam bab ini akan dikemukakan sebuah ilmu filsafat baru yang membahas mengenai matematika yang disebut konstruktivisme sosial .Bab ini tentu saja menyangkut kisah filsafat matematika, bab ini bersifat lebih tentatif daripada yang sebelumnya, yang sebagian besar membahas tentang hubungan eksposisi (uraian) dengan ide-ide mapan. Di sisi lain, tidak terlalu banyak kisah baru harus diklaim dalam filsafat mengenai matematika, karena konstruktivisme sosial ( yang bahasanya sebagian besar adalah perluasan dan perpaduan pandangan matematika yang sudah ada sebelumnya).
    Konstruktivisme Sosial memandang matematika sebagai konstruksi sosial. Hal ini mengacu pada sifat tradisional, dalam menerima kenyataan bahwa bahasa sosial, peraturan dan kesepakatan memainkan peran kunci dalam mengembangkan dan membenarkan kebenaran matematika. Diambil dari pandangan kuasi-empirisme, epistemologi fallibilist yang memandang bahwa pengetahuan dan konsep matematika berkembang dan berubah. Hal ini juga mengadopsi tesis filosofis Lakatos bahwa pengetahuan matematika tumbuh melalui dugaan (conjectures) dan penyangkalan (refutations),yang memanfaatkan logika pada penemuan matematika. konstruktivisme sosial adalah suatu bahasan deskriptif sebagai lawan dari filsafat preskriptif matematika,yang memiliki tujuan untuk menjelaskan hakekat matematika yang dapat dipahami secara luas, seperti pada kriteria kecukupan. Dasar untuk menggambarkan pengetahuan matematika sebagai konstruksi sosial ada tiga yaitu: Dasar pengetahuan matematika adalah pengetahuan linguistik, kesepakatan (convention) dan aturan; sedangkan bahasa adalah konstruksi sosial.
    Proses sosial interpersonal diperlukan untuk mengubah pengetahuan matematika subyektif individu, setelah publikasi, dalam menerima pengetahuan matematika secara objektif. Obyektivitas itu sendiri akan dipahami sebagai sosial.

    Tinjauan tentang Konstruksi Sosial
    Sebagaimana quasi-empirisme , fokus utama konstruksi sosial adalah asal-usul pengetahuan matematika, dibandingkan pembenarannya. Pengetahuan matematika baru yang dihasilkan dapat berupa pengetahuan subjektif ataupun objektif, dan memberi ciri khusus pada konstruktivisme sosial dengan menganggap keduanya merupakan bentuk pengetahuan, dan menghubungkan keduanya dalam siklus kreatif. Ini bukanlah hal yang luar biasa dalam memandang pengetahuan subyektif dan pengetahuan subyektif yang diperlakukan secara bersama dalam filsafat, seperti pendapat dalam Popper (1979). Hal yang kurang umum adalah memperlakukan hubungan mereka, karena ini terkait dengan asal-usul pengetahuan dalam filsafat.
    Konstruktivisme sosial menghubungkan pengetahuan subjektif dan objektif dalam sebuah siklus di mana masing-masing dari hal tersebut memberikan kontribusi dalam pembaruan satu sama lain. Pada siklus ini, jalur yang diikuti pencapaian pengetahuan matematika baru dari pengetahuan subyektif (pembentukan pribadi seorang individu), melalui publikasi menjadi pengetahuan (dengan pengawasan bahasan inter-subjektif, reformulasi dan penerimaan). Pengetahuan objektif diinternalisasi dan direkonstruksi oleh individu, selama belajar matematika, untuk menjadi pengetahuan subjektif individual. Menggunakan pengetahuan ini, individu membuat dan mempublikasikan pengetahuan matematika baru, sehingga melengkapi siklus. Jadi pengetahuan subjektif dan objektif matematika masing-masing memberikan kontribusi kepada penciptaan dan penciptaan-ulang yang lain. Asumsi yang mendukung catatan konstruktivis sosial untuk penciptaan pengetahuan sebagai berikut :

    Seorang individu memiliki pengetahuan subyektif tentang matematika

    Perbedaan utama adalah antara pengetahuan subjektif dan objektif. Berfikir secara matematis dari seseorang (baik proses dan produk, pengetahuan matematika) adalah pikiran subjektif. Hal ini sebagian besar mempelajari
    pengetahuan (yaitu rekonstruksi objektif) tetapi, tetap mengikuti batasan-batasan tertentu yang kuat, proses hasil penciptaan-kembali dalam representasi subjektif yang unik dari pengetahuan matematika. Selanjutnya, individu menggunakan pengetahuan ini untuk membangun pengetahuannya sendiri, produk matematika yang unik, kreasi dari pengetahuan matematika subjektif yang baru.

    Publikasi merupakan sebuah hal yang perlu (tetapi tidak cukup) agar pengetahuan subjektif menjadi pengetahuan objektif matematika

    Ketika hasil pengetahuan matematika subjektif dari individu masuk ke masyarakat umum melalui publikasi, maka memenuhi syarat untuk menjadi pengetahuan objektif. Ini tergantung pada hal yang dapat di terima dalam teori ini, tetapi pertama-tama teori tesebut harus dinyatakan secara fisik (dalam cetak, media elektronik, secara tertulis, atau sebagai kata yang diucapkan). (Di sini pengetahuan dipahami tidak hanya meliputi pernyataan, tetapi juga pembenaran mereka, biasanya dalam bentuk bukti informal).

    Melalui penerbitan heuristik Lakatos, pengetahuan menjadi pengetahuan obyektif matematika

    Matematika terpublikasi adalah subyek untuk dicermat dan dikritik oleh orang lain, mengikuti heuristic Lakatos(1976), yang mana dalam hasil reformulasi dan penerimaan sebagai pengetahuan obyektif matematika (misalnya, diterima secara sosial). Penerapan yang sukses di heuristik ini cukup untuk penerimaan sebagai pengetahuan matematika objektif, meskipun pengetahuan itu selalu menyisakan tantangan terbuka.

    Heuristik ini tergantung pada kriteria objektif

    Selama mempelajari asal-usul pengetahuan matematika, kriteria objektif memainkan bagian penting (logika otonomi Lokatos untuk penemuan matematika, dipahami secara filosofis,bukan secara historis). Kriteria ini digunakan dalam tinjauan kritis terhadap pengetahuan matematika, dan termasuk berbagi inferensi gagasan yang valid dan asumsi metodologis dasar lainnya.
    Kriteria obyektif untuk mengritik pengetahuan matematika yang terpublikasi didasarkan pada pengetahuan objektif bahasa, seperti matematika.

    Kriterianya tergatung pada besar dan luas pengetahuan matematika yang dimiliki, tetapi pada akhirnya berhenti pada pengetahuan bahasa bersama, yaitu, pada konvensi linguistik (pandangan conventionalist untuk dasar pengetahuan). Ini juga secara sosial diterima, dan karenanya objektif. Dengan demikian baik pengetahuan matematika terpublikasi maupun yang konvensi (kesepakatan) linguistic, dimana pembenaran berada, adalah pengetahuan objektif.

    Pengetahuan subyektif matematika yang diinternalisasikan secara luas, akan merekonstruksi pengetahuan objektif.

    Tahap utama dalam siklus penciptaan matematika adalah internalisasi, yaitu representasi subjektif dari dalam, dari matematika obyektif dan pengetahuan linguistik. Melalui pembelajaran bahasa dan representasi inti matematika dari pengetahuan ini, termasuk aturan yang terkait, batasan dan kriteria dibangun. Hal ini membolehkan penciptaan matematika subyektif, maupun partisipasi dalam proses mengkritisi dan mereformulasi (yaitu publik) pengetahuan matematis.

    Kontribusi individu dapat menambahkan, melakukan restrukturisasi atau reproduksi pengetahuan matematika

    Berdasarkan pengetahuan subyektif matematika, maka secara individu berpotensi melakukan kontribusi ke dalam wadah pengetahuan objektif. Ini dapat menambah, restrukturisasi, atau hanya mereproduksi pengetahuan matematika yang sudah ada. Tambahan bisa berupa dugaan atau bukti baru, yang mungkin termasuk konsep atau definisi baru. Mereka dapat juga berupa terapan baru dari matematika yang sudah ada. Kontribusi restrukturisasi bisa berupa konsep baru atau teorema yang digeneralisasi atau hubungan dua atau lebih bagian pengetahuan matematika yang sudah ada sebelumnya. Kontribusi yang mereproduksi matematika yang sudah ada biasanya berbentuk buku teks atau perluasan lanjutan.

    Masalah yang Segera Muncul dari Konstruksi Sosial
    Ada dua permasalahan yang segera muncul dari penjelasan singkat ini, yaitu :

    Identifikasi objektivitas sosial atau diterima secara sosial.
    Untuk mengidentifikasi objektivitas obyek dan kebenaran matematika yang tetap dan abadi dengan sesuatu yang bisa berubah dan terbuka seperti pengetahuan yang diterima secara sosial, awalnya kelihatan bermasalah. Namun telah ditunjukkan bahwa pengetahuan semua matematika adalah bisa keliru dan bisa berubah. Dengan demikian beberapa atribut tradisional tentang objektivitas, seperti sifat ketetapan dan keabadian, sudah ditolak. Dengan kedua sifat itu banyak argumen tradisional mengenai objektivitas sebagai ideal manusia- super. Menurut Bloor (1984) kita bisa mengadopsi syarat perlu untuk objektivitas, penerimaan sosial, menjadi syarat cukup juga. Tinggal menunjukkan bahwa identifikasi ini mempertahankan sifat objektivitas yang diharapkan.

    Masalah kedekatan konstruktivisme sosial pada sosiologis atau empiris lain dalam menguraikan matematika.

    Karena konstruktivisme sosial merupakan kuasi-empiris yang memiliki tugas menguraikan hakikat matematika termasuk matematika praktis, dalam bentuk deskriptif sepenuhnya, maka batas antara matematika dan disiplin lainnya lemah. Dengan menghilangkan hambatan filosofis tradisional ini dapat membawa konsekuensi filsafat matematika lebih dekat ke sejarah dan sosiologi matematika (dan juga psikologi, tentang pengetahuan subyektif). Dengan demikian, ada bahaya konstruktivisme sosial yang mendekati  sejarah, sosiologi atau psikologi. Hakekat Pengetahuan Obyektif dan Subyektif
    Sebelum membahas lebih lanjut tentang eksposisi dan pengembangan konstruktivisme sosial perlu dipertegas beberapa filsafat pendahuluan. Kunci utama yang digunakan adalah perbedaan antara pengetahuan subjektif dan pengetahuan objektif. Hal ini diperjelas oleh pertimbangan definisi Popper (1979) terhadap tiga dunia berbeda, dan jenis-jenis keterkaitan pengetahuan.

    Kita bisa menyebut dunia fisik dunia 1 , dunia pengalaman sadar kita dengan dunia 2 , dan dunia muatan logis buku, perpustakaan, memori komputer, dan lainnya dunia 3 .(Popper, 1979, hal. 7a).

    Pengetahuan subjektif adalah pengetahuan dunia2, pengetahuan objektif adalah dunia 3, dan menurut Popper termasuk produk-produk dari pikiran manusia, seperti teori-teori yang diterbitkan/publikasikan, diskusi mengenai teori-teori semacam itu, terhadap masalah terkait, bukti-bukti;dan itu buatan manusia dan bisa berubah.
    Istilah pengetahuan objektif , digunakan dalam cara yang berbeda dari Popper, merujuk kepada semua pengetahuan yang intersubjektif dan sosial. Kita berharap dapat menentukan semua yang dikerjakan Popper sebagai pengetahuan objektif, termasuk teori-teori matematika, aksioma, dugaan, bukti-bukti, baik formal maupun informal. Satu perbedaannya adalah kita juga ingin menyertakan tambahan produk- produk dari pikiran manusia sebagai pengetahuan objektif, khususnya kesepakatan dan aturan bersama (implisit) dalam pemakaian bahasa. Jadi, merujuk kesepakatan bersama, pengetahuan intersubjektif sebagai objektif, bahkan jika itu adalah pengetahuan implisit, yang belum sepenuhnya diartikulasikan. Teori ini mungkin ditolak Popper.
    Selanjutnya teori sosial tentang obyektifitas diadopsi dari pengertian yang dikemukakan Bloor. Teorinya adalah :
    Yang saya maksud dengan mengatakan bahwa objektivitas adalah sosial adalah bahwa karakter pribadi dan stabil yang melekat pada sebagian dari keyakinan kita, dan rasa realitas yang melekat pada referensi mereka, berasal dari kepercayaan ini menjadi institusi sosial. Saya mengambil itu bahwa kepercayaan yang obyektif adalah salah satu yang bukan milik individu. Ia tidak berfluktuasi seperti pernyataan subjektif atau preferensi pribadi. Hal ini bukan milikku atau milikmu, tapi bisa dibagi. Ia memiliki aspek luar yang serupa kepadanya (external thing-like).(Bloor, 1984, hal 229)
    Bloor berpendapat bahwa dunia 3 Popper dapat dipertahankan dan berhasil diidentifikasi dengan dunia sosial. Dia juga berpendapat bahwa tidak hanya struktur tiga-kelompok teori Popper dipertahankan di bawah transformasi ini, tetapi juga hubungan antara ketiga dunia tersebut. Tentu saja, interpretasi sosial tidak mempertahankan makna bahwa Popper menyertakan ke objektivitas, siapa orang yang memperhatikan karakter logis teori -teori, bukti-bukti dan argumen-argumen, yang cukup untuk menjamin objektivitas dalam arti idealis. Disamping itu, pandangan sosial dapat menguraikan sebagian besar, jika tidak semua, ciri objektivitas: otonomi pengetahuan objektif, karakter eksternal yang serupa (mungkin arti asal object -ivity), dan bebas dari sembarang pengetahuan dari pengetahuan subjektif suatu subyek. Pandangan sosial dalam melihat pengetahuan objektif, seperti budaya, berkembang secara otonom sesuai dengan aturan yang diterima secara diam-diam, dan tidak tunduk pada perintah sembarang individu. Karena objektif pengetahuan dan aturan ada di luar individu (dalam masyarakat), mereka tampaknya memiliki kemiripan obyek (object-like) dan keberadaan bebas (independent existence).
    Dengan demikian dapat dilihat bahwa pandangan sosial menguraikan banyak karakteristik yang diperlukan bagi objektivitas. Di atas ini, perlu dicatat bahwa pandangan sosial Bloor tentang objektivitas menjelaskan dan menguraikan untuk obyektifitas. Sebaliknya pandangan tradisional (termasuk Popper) menguraikan, atau pada paling baik mendefinisikan objektivitas(intensif atau ekstensif), tetapi tidak pernah menguraikan, atau menjelaskan objektivitas. Untuk otonomi, eksistensi independen dari pengetahuan objektif adalah secara tradisional perlu ditunjukkan, tanpa penjelasan tentang apa objektivitas itu, atau bagaimana pengetahuan objektif dapat muncul dari pengetahuan manusia subyektif. Sebaliknya, pandangan sosial tentang objektivitas dapat menyumbang penjelasan tentang dasar dan hakekat objektifitas dan pengetahuan objektif.
    Satu masalah kemudian yang harus dihadapi pandangan sosial adalah penjelasan tentang perlunya kebenaran logis dan matematika. Jawabannya diberikan oleh Bloor (1983, 1984), dan diadopsi di sini, yaitu bahwa keperluan ini (dipahami dalam pengertian fallibilist) berada pada konvensi dan aturan linguistik, seperti usulan Wittgenstein. Ini adalah penjelasan conventionalist penuh tentang dasar pengetahuan logika dan matematika.

    Pengetahuan Obyektif dalam Matematika
    Setelah menjelaskan arti objektivitas yang dipahami sebagai sosial, perlu sedikit mengulangi penjelasan konstruktivis sosial tentang pengetahua nmatematika objektif. Menurut konstruktivisme sosial, matematika yang terpublikasi, yaitu matematika yang dinyatakan secara simbolis dalam wilayah publik, memiliki potensi menjadi pengetahuan objektif. Penerapan logika Lakatos dalam penemuan matematika ke matematika terpublikasi ini adalah proses yang mengarah pada penerimaan sosial, dan dengan demikian ke objektivitas. Setelah aksioma matematis, teori, dugaan, dan bukti-bukti dirumuskan dan disajikan di depan umum, bahkan walaupun hanya dalam percakapan, otonom heuristik (yaitu keberterimaan sosial) mulai bekerja. Baik proses maupunhasilnya adalah objektif, diterima secara sosial. Demikian juga, baik kesepakatan implisit maupun eksplisit dan aturan bahasa dan logika yang berpijak heuristik ini adalah objektif, juga diterima secara sosial. Kesepakatan-kesepakatan dan aturan-aturan yang diklaim itu, berdasarkan paham konvensional, mendukung pengetahuan matematika (termasuk logika). Mereka memberikan dasar definisilogis dan matematika, sebagaimana dasar untuk aturan-aturan dan aksioma-aksioma dari logika dan matematika.

    Pengetahuan subyektif dalam Matematika
    Meskipun peran pengetahuan objektif sangat penting, namun perlu juga dikemukakan bahwa peran subjektif pengetahuan matematika juga harus diakui, atau jika tidak, penjelasan tentang matematika secara keseluruhan akan menjadi tidak lengkap. Pengetahuan subyektif diperlukan untuk menjelaskan asal-usul pengetahuan matematika baru serta sesuai dengan teori yang diusulkan, penciptaan kembali dan keberlanjutan keberadaan pengetahuan. Oleh karena pengetahuan objektif adalah sosial, dan bukanlah entitas subsisten-diri (self-subsistent ) yang ada suatu wilayah yang ideal maka, sebagaimana semua aspek budaya pengetahuan ini, harus direproduksi dan diwariskan dari generasi ke generasi (diakui dengan bantuan artefak, seperti buku-buku bacaan). Menurut penjelasan konstruktivis sosial, pengetahuan subjektif adalah apa yang melanjutkan dan memperbaharui pengetahuan, apakah itu matematika, logika atau bahasa. Jadi pengetahuan subjektif memainkan bagian inti dalam membahas filsafat matematika.
    Setelah mengatakan hal ini, harus diakui bahwa perlakuan pengetahuan subjektif sebagaimana pada pengetahuan objektif, dalam teori yang dikemukakan, adalah bertentangan dengan banyak pemikiran modern dalam filsafat, dan dalam filsafat matematika, sebagaimana telah kita lihat (terkecuali intuisionisme, yang telah ditolak). Sebagai contoh, Popper (1959) telah sangat hati- hati membedakan antara konteks penemuan dan konteks pembenaran dalam sains. Ia menganggap konteks yang terakhir sebagai bahasan untuk analisis logis, dan dengan demikian menjadi kajian yang tepat bagi filsafat. Pembentuk konteks, bagaimanapun,menyangkut persoalan empiris, dan karenanya merupakan perhatian yang tepat untuk psikologi, dan bukan logika atau filsafat.
    Anti- psychologisme, suatu pandangan bahwa pengetahuan subjektif atau paling tidak aspek psikologisnya adalah tidak teruji untuk perlakuan filosofis, berdasarkan pada argumen berikut. Filsafat terdiri dari analisis logis, termasuk masalah-masalah metodologis seperti syarat-syarat umum untuk kemungkinan pengetahuan. Inkuiri seperti ini adalah pengetahuan awal (apriori), dan sepenuhnya bebas dari sembarang pengetahuan empiris tertentu. Isu-isu subjektif merupakan isu psikologis sampingan, karena mereka acuan sampingan pada isi pikiran individual. Tapi hal seperti itu, dan psikologi pada umumnya, adalah empiris. Oleh karena itu, karena perbedaan kategori ini (a priori versus dunia empiris) pengetahuan subjektif tidak dapat menjadi perhatian filsafat.
    Argumen ini ditolak pada dua alasan. Pertama, kritik yang kuat absolutisme, dan karena kemungkinan pengetahuan apriori tertentu telah dipasang. Atas dasar ini,semua yang disebut pengetahuan awal, termasuk logika dan matematika, tergantung pada peruntukan pembenaran di dasar quasi- empiris. Tapi ini secara efektif menghancurkan perbedaan kategori unik antara pengetahuan apriori dan pengetahuan empiris. Jadi perbedaan ini tidak dapat digunakan untuk menolak penerapan metode filsafat aprioripengetahuan obyektif ke pengetahuan subjektif, dengan alasan bahwa catatan terakhir secara empiris ternoda. Karena sekarang kita lihat bahwa semua pengetahuan, termasuk pengetahuan objektif, adalah secara empiris (atau lebih tepatnya quasi-empiris) tercemar.
    Argumen kedua, yang bebas dari yang pertama, adalah sebagai berikut. Dalam membahas pengetahuan subjektif, tidak dimaksudkan untuk mendiskusikan isi tertentu pikiran-pikiran individual, atau teori-teori psikologi empiris tertentu dari pikiran dengan kedok filsafat. Akan tetapi bermaksud untuk mendiskusikan kemungkinan pengetahuan subjektif secara umum, dan apa yang disimpulkan tentang sifat yang mungkin berdasarkan penalaran logis saja (diketahui sejumlah asumsi teoretis). Ini adalah kegiatan filosofis yang sah, seperti halnya filsafat ilmu dapat secara sah merefleksikan sebuah realita empiris, yaitu ilmu pengetahuan, tanpa menjadi realita empiris itu sendiri. Jadi pengetahuan subjektif adalah bahasan yang tepat untuk penemuan filosofis. Jadi pengetahuan subyektif merupakan areal yang sah dari penyelidikan filosofis, yang didasarkan pada tradisi filsafat yang substansial.
    Meskipun klaim bahwa keputusan pengetahuan subjektif merupakan psikologistik adalah dibantah, tapi diakui bahwa ada bahaya nyata dan legitimasi sah yang muncul dari perlakuan filosofis pengetahuan subyektif. Untuk itu membuat lebih mudah untuk melakukan kesalahan penggunaan penalaran psikologistik dalam filsafat, yaitu penalaran yang didasarkan pada kepercayaan psikologis dari kebutuhan sebagai lawan dari argumentasi logis. Selain itu, pembedaan antara pengetahuan subjektif dan pengetahuan objektif adalah salah satu yang vital untuk menjaga, baik untuk konstruktivisme sosial, maupun filsafat umumnya. Ini adalah dua wilayah yang benar-benar berbeda dari pengetahuan.
    Untuk alasan ini, dalam pengutaraan filsafat konstruktivis sosial dari matematika, wilayah pengetahuan objektif dan subjektif akan diperlakukan secara terpisah. Aspek obyektif filosofi ini adalah bebasdari aspek subjektif dari segi pembenarannya. Jadi kewaspadaan pembaca pada psychologisme dapat mengikuti aspek obyektif dari konstruktivisme sosial tanpa ragu (setidaknya tentang masalah ini).
                              

    Konstruktifisme Sosial: Pengetahuan Obyektif
    Dalam rangka konstruktivis sosial memberikan uraian pengetahuan objektif dalam matematika, perlu dibangun sejumlah klaim. Kita perlu membenarkan uraian pengetahuan matematika obyektif dengan mendemonstrasikan baik objektivitas dari apa yang dimaksud, maupun fakta yang memang dijamin oleh pengetahuan. Setelah menetapkan kondisi minimal ini untuk uraian pengetahuan matematika obyektif, selanjutnya perlu meyakinkan bahwa konstruktivisme sosial memberikan penjelasan filosofis yang memadai tentang matematika. Ini melibatkan kecukupan memenuhi kriteria untuk filsafat matematika yang dirumuskan dalam bab sebelumnya.

    Obyektifitas dalam Matematika
    Atas dasar kritik yang kuat terhadap absolutisme, faham falibilitas terhadap pengetahuan matematika diterima. Sementara falibilitas menjadi asumsi pokok konstruktivisme sosial, fakta menunjukkan bahwa objektivitas pengetahuan matematika dan objek matematika adalah ciri matematika yang diterima secara luas, dan dapat dijelaskan peruntukannya oleh filsafat matematika apa pun. Telah ditetapkan bahwa objektivitas dipahami berada di depan umum, kesepakatan intersubjektif, yang itu berarti sosial. Dengan demikian objektivitas matematika berarti bahwa baik pengetahuan maupun obyek matematika memiliki keberadaan otonom atas adanya kesepakatan intersubjektif, dan yang tidak tergantung pada pengetahuan subjektif sembarang individu. Karena itu perlu ditetapkan basis bersama pengetahuan ini, yang memungkinkan publik mengakses ke sana, dan jaminan kesepakatan antar-subjektif padanya. Selanjutnya, diskusi diperlebar untuk objektivitas ontologi matematika, yang merupakan dasar bagi keberadaan otonom objek matematika. Pengarang menganggap bahwa substratum pertama yang menyediakan dasar untuk objektivitas dalam matematika, yaitu bahasa.

    Dasar Linguistik dari Objektivitas dalam Matematika

    Klaimnya adalah objektivitas pengetahuan matematika didasarkan pada pengetahuan bersama bahasa alami. Penjelasan seperti ini telah disketsakan dalam perlakuan konvensionalisme dalam bahasan sebelumnya. Penjelasan Wittgenstein tentang dasar linguistic untuk logika dan matematika telah disajikan dan dinilai menjanjikan. Akan diargumentasikan bahwa perolehan kompetensi dalam bahasa alami, perlu melibatkan akuisisi yang besar, implisit, bangunan pengetahuan. Bagian dari pengetahuan ini adalah pengetahuan dasar matematika dan penalaran logis, beserta aplikasinya. Komunikasi linguistic memerlukan aturan-aturan dan konvensi-konvensi bahasa yang mewujudkan makna, adalah dibutuhkan. Kebutuhan bersama ini tanpa komunikasi yang tidak berarti, adalah dasar dari objektivitas pengetahuan matematika (dan objek). Inilah inti argument ini, ini bukanlah argument berdasarkan fakta-fakta psikologis atau empiris, melainkan pada alasan logis dan filosofis. Untuk itu, kebenaran yang pada sembarang sistem pengetahuan logis menjadi dedukatif atau definisional, pada akhirnya tergantung pada seperangkat proposisi primitive dan istilah-istilah ini dapat ditemukan dalam pengetahuan objektif dari bahasa alami. Untuk menyempurnakan argument ini, pertama diperhatika bahwa secara tradisional, pengetahuan objektif diidentifikasi dengan sekumpulan proposisi atau pernyataan, (atau isi daripadanya), yang secara linguistic menyatakan bangunan pengetahuan. Dalam bab-bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa pengetahuan disamping mencakup pengetahuan proposisional yang berupa proses dan prosedur. Namun, ini juga dapat dinyatakan sebagai proposisi. Jadi asumsi dasar bahwa pengetahuan memiliki dasar linguistik tidak perlu dipertanyakan. Ini berarti bahwa pemahaman pengetahuan seperti itu pada dasarnya tergantung pada kompetensi linguistik, sebagaimana sebagian besar kognitif manusia dan aktivitas sosial.
    Kompetensi linguistik terdiri dari kemampuan untuk berkomunikasi secara linguistik. Hal ini pada gilirannya tergantung pada penggunaan bersama bentuk-bentuk tata bahasa, hubungan antara istilah, dan penerapan bentuk dan deskripsi situasi, termasuk berbagi makna istilah, setidaknya di publik yang diamati, perilaku yang digunakan. Ini juga tergantung pada, kemampuan untuk saling berhubungan konteks sosial dan bentuk-bentuk diskursus tertentu. Singkatnya, kompetensi linguistik tergantung pada aturan umum bersama, sesuai dengan penggunaan umum.

    Kita tidak bisa mempertanyakan kenyataan bahwa A dan B memuat A atau yang 1 +1 = 2,tanpa menarik beberapa kemungkinan komunikasi. Kita hanya bisa mendapatkan sekitar ini sementara, dengan mengelilingi domain kecil pemakaian bahasa, dan mengungkapkan dan mempertanyakan beberapa aturan yang mengatur penggunaannya. Kita mungkin membekukan dan dengan demikian menunda beberapa peraturan untuk membedah mereka. Tapi dalam permainan bahasa lainnya, termasuk meta-bahasa kita, aturan ini tetap berlaku. Dan ketika inquiri kita bergerak, aturan-aturan menjadi dianimasi kembali, dan reasumsi kepastian kehidupan mereka.
    Ini adalah argumentasi umum untuk perlunya peraturan yang terkait dengan penggunaan bahasa. Mengkodifikasi aturan- aturan ini bersama perilaku linguistik yang memungkinkan kemungkinan komunikasi. Secara rinci, aturan-aturan ini tergantung pada syarat-syarat tertentu dan aturan-aturan logika matematika dan tertanam dalam bahasa kita.
    Bahasa alamiah kita memuat matematika informal sebagai bagian, termasuk istilah- istilah seperti persegi , lingkaran , bentuk , nol , satu , dua , bilangan , jumlah , kurang , lebih besar , sama dengan , himpunan , anggota , tak hingga dan sebagainya. Beberapa istilah-istilah ini dapat diterapkan secara langsung pada dunia berbagi pengalaman kita, dan bahasa alami termasuk aturan-aturan dan kesepakatan-kesepakatan tentang cara menerapkan istilah. Dalam pengertian ini, istilah-istilah ini mirip dengan ilmu pengetahuan, untuk istilah dasar yang mereka pelajari bersama. istilah -istilah tersebut memungkinkan kita untuk menggambarkan kejadian dan benda-benda di dunia dengan klasifikasi dan kuantifikasi. Interpretasi matematika informal yang dimaksudkan, seperti ini, adalah tersirat dalam arti kata (semantik) bahasa alam (yang sering menyediakan beberapa makna bagi istilah-istilah ini). Selain itu, saling keterkaitan antara istilah yang ditegaskan oleh kesepakatan dan aturan bahasa. Sebagai contoh, satu kurang dari dua dan himpunan tak hingga mempunyai lebih dari dua anggota keduanya dijamin pada dasar aturan semantik bahasa. Seperti telah disebutkan, aplikasi dasar matematika juga dibangun ke dalam aturan penggunaan bahasa.Kehadiran kedua jenis aturan, yang terkait dengan interkoneksi istilah dan aplikasi yang mereka peruntukkan di dunia, menjelaskan banyak pengetahuan matematika implisit yang tidak kita sadari perolehannya dengan kompetensi linguistik.
    Penjelasan ini terlalu disederhanakan dalam satu pengertian. Sebab tampaknya mengasumsikan satu dunia luar. Kenyataannya, ada banyak wilayah wacana linguistik yang tumpang tindih, banyak permainan bahasa, masing- masing dengan referensi dunia bersama mereka sendiri. Beberapa berhubungan dengan apa yang secara sosial diterima oleh mayoritas sebagai realitas objektif, yang lain kurang begitu, dan beberapa seluruhnya fungsional atau mitologis. Masing-masing berisi teori informal, seperangkat hubungan antara entitas yang mendiami mereka. Apa yang mereka berbagi semua adalah kesepakatan sosial pada aturan-aturan yang berkaitan dengan wacana tentang mereka.
    Banyak ucapan-ucapan bahasa kita, apapun permainan bahasa yang terlibat dalamnya, adalah penuh dengan konsep-konsep matematika, atau sangat mathematized (Davis dan Hersh, 1986). Sebagai contoh dari pengakaran matematika dalam penggunaan bahasa setiap hari, perhatikan pertanyaan Zen Apa bunyi tepukan satu tangan? Hal ini didasarkan pada pengetahuan linguistik bahwa dibutuhkan dua tangan untuk bertepuk tangan, satu adalah setengah dari dua, tapi setengah dari jumlah tangan tidak memberikan setengah dari jumlah suara dengan dua tangan (fokusnya di sini pada konten matematika, dan bukan tujuan dari teka-teki yang melalui tantangan kognitif ke rangsangan satori). Secara tradisional,  pengetahuan  objektif  diidentifikasi  dengan  sekumpulan proposisi atau pernyataan yang secara linguistik menyatakan tentang sebuah bangunan pengetahuan. Dalam bab-bab sebelumnya telah dijelaskan  bahwa  pengetahuan  juga mencakup  pengetahuan proposisional yang berupa proses dan prosedur. Jadi asumsi dasar bahwa pengetahuan memiliki dasar linguistik tidak perlu dipertanyakan. Ini berarti bahwa pemahaman pengetahuan seperti itu pada dasarnya tergantung pada kompetensi linguistik, sebagaimana  besar kognitif seorang manusia dengan aktivitas sosial.
    Kompetensi linguistik terdiri dari kemampuan untuk berkomunikasi secara linguistik. Hal ini tergantung pada penggunaan bentuk-bentuk tata bahasa, hubungan antara istilah, dan penerapan bentuk dan deskripsi situasi, termasuk berbagi makna istilah pada publik yang diamati, dan perilaku yang digunakan. Ini juga tergantung pada kemampuan untuk saling berhubungan sosia. Singkatnya, kompetensi linguistik tergantung pada aturan umum bersama, sesuai dengan penggunaan umum.
    Kita tidak bisa mempertanyakan kebenaran bahwa A dan B memuat A atau 1 +1 = 2, tanpa menarik beberapa kemungkinan komunikasi. Kita hanya bisa mendapatkannya sementara dengan mengelilingi domain kecil dari pemakaian bahasa, mengungkapkan dan mempertanyakan beberapa aturan yang mengatur penggunaannya. Tapi dalam permainan bahasa lainnya, termasuk meta-bahasa, aturan ini tetap berlaku. Dan ketika inquiri kita bergerak, aturan-aturan menjadi dianimasi kembali, dan reasumsi kepastian kehidupan mereka.
    Ini adalah argumentasi umum untuk peraturan yang terkait dengan penggunaan bahasa. Memodifikasi aturan-aturan ini adalah perilaku linguistik yang memungkinkan kemungkinan komunikasi. Secara rinci, aturan-aturan ini tergantung pada syarat-syarat tertentu dan aturan-aturan logika matematika dan tertanam dalam bahasa kita.
    Bahasa alamiah kita memuat matematika informal sebagai bagian, termasuk istilah- istilah seperti persegi, lingkaran, bentuk, nol, satu, dua, bilangan, jumlah, kurang, lebih besar, sama dengan, himpunan, anggota, tak hingga dan sebagainya. Beberapa istilah-istilah ini dapat diterapkan secara langsung pada dunia dari berbagai pengalaman kita. Dalam pengertian ini, istilah-istilah ini mirip dengan ilmu pengetahuan, untuk istilah dasar yang mereka pelajari bersama. istilah -istilah tersebut memungkinkan kita untuk menggambarkan kejadian dan benda-benda di dunia dengan klasifikasi dan kuantifikasi. Interpretasi matematika informal yang dimaksudkan seperti ini tersirat dalam arti kata (semantik) bahasa alam (yang sering menyediakan beberapa makna bagi istilah-istilah ini). Sebagai contoh, satu kurang dari dua dan himpunan tak hingga mempunyai lebih dari dua anggota keduanya dijamin pada dasar aturan  bahasa. Seperti telah disebutkan, aplikasi dasar matematika juga dibangun ke dalam aturan penggunaan bahasa. Kehadiran kedua jenis aturan, yang terkait dengan interkoneksi istilah dan aplikasi yang mereka peruntukkan di dunia menjelaskan banyak pengetahuan matematika implisit yang tidak kita sadari perolehannya dengan kompetensi linguistik.

    Penjelasan ini terlalu disederhanakan dalam satu pengertian. Sebab tampaknya mengasumsikan hanya dengan satu dunia luar. Kenyataannya, ada banyak wilayah wacana linguistik yang tumpang tindih, banyak permainan bahasa, masing- masing dengan referensi kata sendiri. Masing-masing berisi teori informal atau seperangkat hubungan antara entitas yang mendiami mereka. Apa yang mereka bagikan semua adalah kesepakatan sosial pada aturan-aturan yang berkaitan dengan wacana tentang mereka.
    Banyak ucapan-ucapan bahasa kita, apapun permainan bahasa yang terlibat dalamnya, adalah penuh dengan konsep-konsep matematika, atau sangat mathematized (Davis dan Hersh, 1986). Sebagai contoh dari pengakaran matematika dalam penggunaan bahasa setiap hari, perhatikan pertanyaan Zen Apa bunyi tepukan satu tangan? Hal ini didasarkan pada pengetahuan linguistik bahwa dibutuhkan dua tangan untuk bertepuk tangan, satu adalah setengah dari dua, tapi setengah dari jumlah tangan tidak memberikan setengah dari jumlah suara dengan dua tangan (fokusnya di sini pada konten matematika, dan bukan tujuan dari teka-teki yang melalui tantangan kognitif ke rangsangan satori). Secara keseluruhan, saya ingin mengklaim bahwa bahasa alami seperti bahasa Inggris (dan Jepang, tampaknya), dan bahkan jadi bahasa matematika informal, kaya dengan aturan matematika implisit, makna dan konvensi. Aturan-aturan ini, seperti dua adalah kelanjutan dari satu sehingga mengharuskan diterimanya kebenaran, seperti 1 + 1 = 2 .

    Dasar Linguistik dari Logika
    Hal yang sama dapat dikatakan untuk logika dalam bahasa. Penggunaan istilah-istilah logika kunci seperti tidak, dan, atau, berimplikasi, jika dan hanya jika, memuat, terdapat, untuk semua, adalah, dan seterusnya, secara ketat mengikuti aturan-aturan linguistik. Aturan-aturan ini tetap sebagaimana kebenaran pernyataan dasar seperti Jika A, maka A atau B , dan aturan-aturan inferensi seperti A dan A berimplikasi B bersama - sama berarti B . Aturan-aturan ini mencerminkan penggunaan istilah tersebut, dan maknanya (Wittgenstein). Aturan dan kesepakatan logika yang mendukung lebih dari sekadar kebenaran dari logika. Sebagaimana telah kita lihat, mereka juga mendukung hubungan logis, termasuk implikasi dan kontradiksi. Jadi penalaran, memang dasar dari argumen rasional yang berpijak pada aturan-aturan bahasa.
    Bentuk-bentuk yang lebih abstrak dan kuat dari logika yang digunakan dalam matematika juga berada pada logika yang tertanam dalam penggunaan bahasa alamiah. Namun, aturan-aturan dan makna logika matematika menyatakan versi terformalkan dalam penghalusan logika ini. Mereka memperbaiki sebuah eratan himpunan permainan bahasa yang tumpang tindih dengan logika bahasa alami.

    Dasar Linguistik Mengakomodasi Perubahan Konseptual
    Telah dikemukakan, pada alasan convetionalist bahwa pengetahuan matematika sehari -hari adalah pengetahuan linguistik, dan aman terhadap kebutuhan nyata dari keteraturan dan penggunaan bahasa. Tapi konvensi linguistik selain memberikan pengetahuan matematika sehari-hari dengan landasan aman, ia juga menyediakan alasan untuk perubahan dalam matematika, seperti konvensi dan penggunaan linguistik berkembang dari waktu ke waktu.
    Sejak zaman dahulu sudah tak terbayangkan untuk mempertanyakan fakta dasar 1 +1 = 2 (Restivo, 1984). Namun sejak zaman George Boole kita dapat menegaskan fakta yang kontradiktif 1 +1 = 1 . Hal ini dapat bergabung kembali bahwa ini hanya karena Boole telah menciptakan sebuah sistem yang formal memberikan arti yang berbeda terhadap simbol-simbol. Hal ini benar, tapi kenyataan tetap bahwa 1 + 1 = 1 tidak salah, dan bahwa 1 + 1 = 2 tidak lagi mutlak benar. Memang benar diberikan pengandaian tertentu (yang memang tertanam dalam bahasa alamiah kita), ketika konflik muncul, perlu dibuat eksplisit. Landasan awal aljabar Boolean mempertanyakan 1+1= 2 mungkin sederhana dan tidak koheren. Perubahan yang sesungguhnya, berada di belakang layar. Ini terletak dalam kenyataan bahwa kita dapat menangguhkan peraturan kita sehari-hari untuk bagian-bagian dari bahasa, dan mempertimbangkan konsekuensi dari konvensi hipotetis, yakni yang bertentangan dari yang tertanam dalam penggunaan bahasa alamiah. Ini adalah perubahan yang dibuat oleh Russell untuk mengklaim matematika murni yang berorientasi pada Boole. Apakah ini berarti bahwa makna tunggal dari matematika telah hilang? Sebaliknya, itu berarti bahwa kita telah menambahkan permainan bahasa baru yang lebih abstrak, untuk yang berkaitan dengan bagian matematika dari bahasa alam.
    Gagasan cakupan permainan bahasa yang meliputi bagian matematika dari bahasa alami memungkinkan keberatan yang akan dihadapi untuk dipilah. Ini menyangkut klaim bahwa ketika dasar dari pengetahuan matematika dan logika adalah melekat pada bahasa alamiah yang digunakan, maka semua pengetahuan matematika harus melekat dalam bahasa alamiah. Tapi ini jelas salah, satu-satunya kesimpulan yang sah dari premis tentang jumlah semua pengetahuan matematika yang merupakan dasar, dan bukan keseluruhan itu sendiri adalah melekat pada pemakaian bahasa. Dengan dasar ini, semakin banyak permainan bahasa baru yang membentuk makna matematis dan pengetahuan dapat dan akan dikembangkan, tanpa mengharuskan pembesaran yang sesuai dasar linguistik. Untuk wacana matematika formal dan informal khusus, dapat diperbesar yang bersandar pada dasar bahasa alami yang sama.
    Pengetahuan matematika yang tertanam dalam penggunaan bahasa menyediakan dasar untuk pengetahuan matematis informal dan akhirnya formal. Makna dan aturan-aturan yang terkandung dalam pengetahuan ini dapat digambarkan dalam bentuk serangkaian permainan bahasa. Permainan ini memberikan dasar lebih jauh, permainan bahasa yang lebih halus, yang abstrak, memperbaiki, memperluas dan mengembangkan aturan dan makna. Jadi hirarki yang longgar dapat disimpan dengan pengetahuan matematika yang tertanam dalam bahasa alami. Ini membangun serangkaian permainan bahasa, membentuk pengetahuan matematika secara informal dan pada akhirnya secara formal. Di ujung hierarki, sistem matematika informal menjadi terformalkan kedalam teori teraksiomatik. Pada tingkat ini aturan permainan atau sistem menjadi hampir sepenuhnya eksplisit. Dengan cara ini pengetahuan matematika yang implisit dalam bahasa memberikan dasar untuk semua pengetahuan matematika. Kebenaran yang terkandung di dalamnya dan dipercayakan oleh penggunaan bahasa tercermin meningkatkan hirarki untuk membenarkan asumsi-asumsi dasar yang diadopsi dalam matematika. Hal yang sama berlaku bagi asumsi dan aturan- aturan logika. Pada bagian berikutnya kita akan membahas  peran asumsi semacam itu dalam pembenaran pengetahuan matematika.

    Pada bagian ini kita telah melihat bahwa konvensi dan penggunaan linguistik memberikan pengetahuan matematika dengan aman. Demikian pula, ia menyediakan dasar untuk muatan dalam matematika, seperti konvensi dan penggunaan linguistik berkembang dari waktu ke waktu. Matematika, seperti pengetahuan alam lain pada dasarnya tergantung pada asumsi linguistik. Fallibilitas memaksa kita untuk mengakui keberadaan mereka, serta perubahan sifat mereka, di atas perjalanan waktu.

    Jaminan Konvensionalis untuk Pengetahuan Matematika
    Menurut pandangan konstruktivis sosial, pengetahuan matematika tidak sempurna, dalam arti bahwa ia terbuka untuk di revisi, dan obyektif yaitu diterima secara sosial dan dicermati publik yang sesuai. Pengetahuan matematika yang valid adalah pengetahuan yang diterima berdasarkan pada basis dimana menjadi pengetahuan dijustifikasi publik (pembuktian dipublikasikan) yang telah lolos (atau telah dirumuskan dalam kebenaran) dari kecermatan dan kritik publik.
    Pembenaran untuk item tertentu terdiri dari pengetahuan matematika dari bukti deduktif yang sah secara informal atau formal. Analisis suatu bukti membenarkan item pengetahuan harus mempertimbangkan dua aspek: asumsi awal eksplisit, dan urutan langkah yang dibenarkan menuju ke kesimpulan. Kita tinjau pertama asumsi awal. Ini terdiri dari (i) pernyataan hipotetis atau aksioma yang diandaikan (misalnya, hipotesis kontinum), (ii) definisi (misalnya, induktif definisiPeano tentang + ), (iii) pengetahuan matematikasebelumnyayang telah diakui, biasanya teorema sebelumnya yang telah ditetapkan, (iv ) kebenaran pengetahuan matematika informalyang telah diterima, yang tertanam dalam bahasa matematika, atau formalisasi mereka (misalnya, Aksioma Peano), atau (v) aksioma logis. Dari jenis ini, (iii) dapat direduksi ke lain (melalui bukti-bukti). Asumsi yang tersisa adalah asumsi hipotetis (kasus (i) dan kasus (iv) dalam beberapa contoh), atau merupakan kesepakatan (konvensi) dan aturan bahasa matematika. Definisi jenis (ii) adalah konvensi oleh fiat, yang hanya ditetapkan seperti itu. Dua jenis asumsi yang tersisa adalah aturan matematika informal, atau formalisasinya (kasus iv), atau aksioma logis (kasus v). Pembenaran untuk kedua jenis asumsi adalah conventionalist, dan ditawarkan di bawahnya.
    Kedua, buktimatematis terdiri dari urutan langkah berhingga bermula dari asumsi awal bukti, sampai ke kesimpulan. Ciri kunci langkah tersebut adalah makna urutan cara untuk melanjutkan satu langkah berikutnya yaitu pembenaran untuk menyimpulkan langkah dari sebelumnya. Pembenaran untuk suatu langkah terdiri dari (i) penggunaan aturan logis dari inferensi (misalnya aturan Modus Ponens), (ii) menggunakan prinsip matematika dari inferensi (misalnya Prinsip Pigeon Hole), (iii) pengenalan Asumsi baru (ini seperti kasus-kasus yang dirawat di paragraf sebelumnya), (iv) klaim bahwa langkah ini dibenarkan oleh kombinasi dasar dari jenis langkah -langkah sebelumnya, dan (v) analogi dengan bukti yang sama diberikan di tempat lain. Dengan asumsi bahwa setiap klaim di bawah kasus (iv) dan (v) yang diverifikasi, sedangkan (i) dan (ii) untuk dipertimbangkan. Ini tergantung pada asumsi aturan atau prinsip matematis atau logika. Ini akan baik akan dikembalikan pada asumsi-asumsi yang sederhana (seperti Pigeon Hole Principle) atau prinsip dasar dan aturan logika matematika. Aturan seperti itu pada prinsipnya tidak berbeda dari dasar asumsi matematis dan logis yang dibahas di atas. Bahkan asumsi dan aturan bersama-sama diterjemahkan, sehingga peraturan dapat digantikan dengan asumsi dalam kalimat, meskipun setidaknya satu aturan atau kesimpulan logis yang diperlukan. Jika, kesederhanaan, dengan demikian kita membuang aturan -aturan matematika (menggantikan mereka dengan asumsi-asumsi dalam bentuk proporsional), asumsi yang dapat disimpulkan langkah-langkah dalam matematika didasarkan bukti dengan mengurangi beberapa aturan dasar kesimpulan logis. Aturan inferensi ini yang akan dibenarkan oleh conventionalist argumen.
    Kita telah melihat bahwa hal terpenting untuk menyatakan pengetahuan matematika terdiri dari matematika puf (dari satu langkah saja, dalam kasus asumsi dasar). Dasar yang penting tersebut tinggal di sejumlah asumsi dasar (kecuali benar -benar hipotetis aksioma, seperti V = L dari Godel, 1940, atau aksioma dari Tensor Teori). Asumsi-asumsi dasar ini terdiri dari matematika informal kebenaran , dan logis aksioma dan aturan inferensi. Ini dibenarkan, dalam bagian sebelumnya, seperti konvensi linguistik, yang merupakan bagian dari aturan makna dan penggunaan yang melekat dalam genggaman bahasakita. Oleh karena itu, berpendapat, seluruh isi pengetahuan matematika itu dibenarkan oleh bukti-bukti, dasar dan keamanan yang bertumpu pada pengetahuan linguistik dan aturan

    Obyek-obyek Matematika
    Objektivitas pengetahuan matematika sosial, yang didasarkan atas dukungan aturan bahasa, diperlukan komunikasi yang kita kenal. Diterima secara sosial juga yang keberadaannyamenjadi independen bagi objek matematika. Untuk melekatkan dalam aturan dan kebenaran matematika adalahasumsi, bahkan pernyataan, bahwa konsep dan objek matematika memiliki eksistensi objektif.
    Dalam bahasa alami, setiap rangkaian yang dimainkan bahasa dapat dianggap sebagai wacana, termasuk satu rangkaian bahasa, aturan dan kebenaran, bersama-sama membuat sebuah teori naif. Terkait dengan wacana dan fungsinya adalah wilayah semantik, dalam lingkup berupa wacana. Ini adalah digambarkan secara informal rangkaian entitas, dengan sifat dan hubungan tertentu yang ditentukan oleh teori naif yang terkait. Dengan demikian keberadaan bersama rangkaian yang dimainkan bahasa memerlukan suatu dunia dengan keberadaan pernyataan independen dari setiap individu. Secara khusus, teori matematis atau wacana membawa serta komitmen terhadap eksistensi tujuan dari suatu himpunan entitas. Matematika klasik, sebagai contoh dari bilangan prima lebih besar dari satu juta jelas menggambarkan, adalah komitmen hingga untuk suatu ontologi entitas yang abstrak. Dengan demikian adalah bahwa kontroversi besar abad pertengahan universal telah berkobar baru dalam filsafat modern matematika. Isu ini jelas sekarang daripada yang klasik, karena kita sekarang memiliki standar yang lebih eksplisit dimana untuk memutuskan apa yang ontologi teori tertentu atau bentuk wacana berkomitmen untuk: teori berkomitmen untuk mereka yang hanya entitas variabel yang terikat teori, yang harus mampu mengarahkan agar afirmasi dibuat dalam teori yang benar. (Quine, 1948, Pages 13-14)
    Tujuan definisi matematika dan kebenaran menentukan aturan-aturan dan menentukan properti objek matematika. Ini menganugerahkan mereka sebanyak objektif bahwa keberadaan sebagai konsep sosial apapun. Sama seperti istilah bahasa yang universal, seperti noun , kalimat , atau terjemahan memiliki eksistensi sosial, demikian juga syarat dan objek matematika memiliki sifat otonom, subsisten diri objek. Objek matematika mewarisi kepastian (yaitu kestabilan definisi) dari objektivitas pengetahuan matematika, dan pada gilirannya memerlukanhal yang permanen bagi mereka sendiri dan beserta tujuan keberadaan. Objektivitas mereka adalah komitmen ontologis yang pasti menyertai penerimaan bentuk-bentuk wacana tertentu.
    Tentu saja, ini bukanlah akhir dari masalah, untuk wacana berkomitmen kami memerlukan segala macam, dari meja kursi dan mobil, untuk orang lain, malaikat dan jiwa-jiwa. Tidak dapat mengklaim bahwa semua ini adalah setara. Tetapi juga, objek-objek matematika yang relatif bervariasi dari konkrit, deskripsi bahasa alamiah tertanam dalam dunia yang masuk akal, ke teorientitas matematika yang abstrak dan yang utama bisa diakses (Jech, 1971), banyak langkah dihapus dari basis ini. Namun, sebagian besar objek matematika memiliki lebih realitas daripada benda-benda di beberapa wacana, seperti makhluk fantasi Tolkien (1954) Bumi Tengah. Karena mereka adalah hasil dari negosiasi sosial, bukan hanya produk dari satu imajinasi individu.
    Banyak istilah-istilah dasar dan konsep matematika memiliki aplikasi dan contoh-contoh konkret di dunia. Karena mereka adalah bagian dari bahasa yang dikembangkan untuk menggambarkan fisik (dan sosial) dunia. Jadi istilah-istilah  seperti  satu,  dua, sepuluh,  garis,  sudut,  persegi, Segitiga, dan seterusnya, menggambarkan sifat-sifat objek atau set objek, di  dunia.  Istilah lain  seperti  tambah, kurang,  membagi,  mengukur, putar, dan seterusnya, menjelaskan tindakan yang dapat dilakukan pada objek konkret. Petunjuk dari istilah ini, mendapatkan objek dari aplikasi konkret dalam realitas yang objektif. Namun istilah, seperti persamaan, identitas,   dan ketidaksetaraan entitas   bahasa. Setiap   saat menggambarkan  aspek-aspek  istilah  realitas  yang  objektif,  apakah eksternal atau bahasa dan dengan demikian menyediakan dasar untuk realitas matematika Atas dasar inilah istilah matematika lebih lanjut, seperti  number,  operasi, bentuk, dan  transformasi, yang dapat didefinisikan.  Pada  tingkat  yang  lebih  tinggi  dan  lebih  jauh  istilah matematika, semakin abstrak, berlaku untukorang di bawah mereka. Dengan  demikian  melalui  hirarki  sehingga  hampir  semua  istilah matematika memiliki definisi dan menunjukkan objek pada tingkat yang lebih rendah. Petunjuk untuk berperilaku persis seperti yang ada secara objektif, otonom objek. Dengan demikian objek matematika yang objektif dalam cara yang sama seperti pengetahuan tentang matematika. Seperti busur objek linguistik umum, beberapa yang konkret tetapi kebanyakan abstrak. Contoh disediakan oleh algoritma. Ini justru menunjukkan urutan tindakan tertentu,  prosedur  yang  seperti  syarat  mereka  beroperasi.  Mereka membangun hubungan antara benda-benda yang beroperasi, dan produk mereka. Mereka merupakan bagian dari struktur yang kaya interkoneksi, dan dengan demikian membantu secara implisit mendefinisikan, istilah, dan dengan demikian objek matematika. Pernyatan ini mungkin tampak gagal menyediakan semua yang diperlukan untuk eksistensi objektif. Namun, analogi antara hierarki konseptual di atas matematika dan teori ilmiah empiris harus dicatat. Karena meskipun didefinisikan secara analog, entitas teoretis ilmu pengetahuan teoritis dipahami memiliki  keberadaan otonom. Hempel (1952) menyamakan teori ilmiah ke jaring. Knot mewakili istilah benang, dan benang mewakili kalimat dari teori (definisi pernyataan teoritis, atau interpretatif link) yang baik  bersama-sama dan jangkar  itu fondasi  dari  pengamatan.  Istilah teoretis ilmu pengetahuan, seperti neutron , gaya tarik bumi, keadaan yang tidak menentu , dan letusan yang besar, kesesuaian dengan inti dari matematika, ini merupakan analogi. Perbedaannya adalah bahwa hanya konkret istilah matematika memiliki referensi empiris, sedangkan ilmu teoretis diambil untuk menunjukkan entitas fisik yang empiris mengemukakan eksistensinya oleh teori saat ini.
    Kedua jenis entitas ini ada di dalam objektif pengetahuan. Apakah semua benda-benda tersebut, khususnya matematika benar-benar "ada atau tidak adalah pertanyaan mendasar, ontologi, dan merupakan subyek perdebatan antara realisme tradisional dan nominalisme (lihat, misalnya, Putnam 1972). Pandangan konstruktivis sosial adalah bahwa obyek matematika adalah konstruksi sosial atau artefak-artefak budaya. Mereka ada objektif dalam arti bahwa mereka adalah publik dan intersubjektif ada kesepakatan tentang sifat dan eksistensi mereka. Pandangan konstruktivis sosial adalah entitas matematis tidak lebih permanen dan bertahan lama subsistensi diri daripada konsep-konsep universal lain seperti kebenaran, keindahan, keadilan, baik, yang jahat, atau bahkan jelas seperti konstruksi seperti, uang , atau, nilai . Jadi jika semua manusia dan produk-produk mereka tidak ada lagi, maka demikian juga akan konsep kebenaran, uang dan objek matematika. Oleh karena itu konstruktivisme sosial melibatkan penolakan Platonisme.

    Asal-usul Pengetahuan Matematika
    Dalam menerima bahwa matematika merupakan konstruksi sosial, maka tersirat bahwa matematika objektif pengetahuan adalah produk dari manusia. Untuk mempertahankan penelitian ini, kita harus mampu untuk menjelaskan matematika tambahan kreasi dari individu (atau kelompok) untuk menerima pengetahuan matematika. Namun pertumbuhan pengetahuan matematika tidak secara eksklusif inkremental. Jadi kita juga harus memperhitungkan cara yang sebagai hasil dari kontribusi baru kerangka pengetahuan matematika yang ada berkembang dan perubahan. Meskipun ia tidak secara eksplisit alamat kedua masalah ini, kita telah melihat bahwa Lakatos quasi-empirisisme menawarkan berpotensi bermanfaat tentang asal- usul pengetahuan matematika, dan kami akan membangun di rekening.
    Menurut adopsi penggunaan, pikir matematis seorang individu adalah pemikiran subjektif. Agar itu menjadi pikiran objektif itu harus bahasa diwakili, biasanya dalam bentuk tertulis. Bertindak kunci yang mengubah pikiran subjektif diterbitkan ini ke pikiran objektif penerimaan sosial, publik penting berikut. Maka dapat dikatakan sebagai kontribusi pengetahuan matematika, bahkan jika, seperti dugaan terkenal Fermat ditulis dalam salinan Doplantus tidak diteliti dalam penulis, AOS seumur hidup. Objektivitas diberikan kepada matematika meskipun melalui penerimaan sosial, publikasi berikut. Di sini tidak ada pembatasan publikasi tertulis dimaksudkan. Jadi pikir matematis berkomunikasi melalui ceramah kepada rekan-rekan juga merupakan publikasi, dan dapat juga menjadi kontribusi pemikiran objektif, menyediakan itu secara sosial diterima.
    Sebuah fitur penting dalam asal-usul pengetahuan matematika transformasi dari publik disajikan (subjektif) pengetahuan dalam matematika untuk objektif, yang secara sosial diterima pengetahuan matematika. Transformasi ini tergantung pada proses hidup publik dan kritik. Selama proses ini, yang Lakatos otonomi penemuan logika matematika, kriteria objektif memainkan bagian penting.
    Mereka digunakan untuk menilai kebenaran kesimpulan, konsistensi asumsi, asumsi konsistensi, konsekuensi dari definisi, validitas informal formalizations dalam mengungkapkan gagasan, dan seterusnya. Bersama kriteria yang digunakan dalam proses semacam kritis termasuk ide-ide logika dan kesimpulan yang benar dan pengertian metodologi dasar dan prosedur, yang tergantung untuk sebagian besar pada matematika dan logis berbagi pengetahuan.
    Fakta bahwa ada kriteria objektif, bagaimanapun, tidak berarti bahwa semua kritik rasional. Namun, penjelasan ini merupakan pembahasan mengenai ciri filosofis pertumbuhan pengetahuan objektif, dan bukan faktor-faktor empiris yang mungkin timbul dalam praktek. Penjelasan ini didasarkan pada bahwa dari Lakatos, meskipun diuraikan dalam beberapa hal. Wawasan asli untuk peran penting kritik publik dalam pertumbuhan pengetahuan, seperti Lakatos mengakui, adalah bahwa dari Popper (1959).

    Varietas penciptaan matematika
    Apa yang belum dipertanggungjawabkan adalah bagaimana beberapa penambahan pengetahuan tambahan, sedangkan yang lain menghasilkan restrukturisasi atau reformulasi pengetahuan yang ada. Seperti ilmu pengetahuan, matematika adalah diakui sebagai hypothetico-deduktif. Jadi matematikawan bekerja dalam teori matematika yang mapan. Banyak dari karya ini terdiri dari pengembangan baru yang ada konsekuensi dari aspek teori, atau aplikasi dari metode yang ada dalam teori untuk berbagai macam masalah. Ketika berbuah, hasil kerja seperti penambahan inkremental kerangka pengetahuan matematika.
    Matematikawan juga memanfaatkan konsep-konsep dan metode dari satu teori matematika lain, atau mengatur untuk membangun hubungan antara dua teori sebelumnya yang terpisah. Pekerjaan semacam itu menyebabkan hubungan struktural baru yang akan dibentuk antara bagian-bagian terpisah dari matematika. Ini merupakan restrukturisasi matematika, yang cukup berpengaruh pada hubungan baru dari ke dua teori yang dikerjakan ulang, dirumuskan kembali dan dibuat lebih dekat bersama-sama. Akhirnya, bekerja di beberapa teori, sering diarahkan pada solusi dari masalah, dan dapat menghasilkan teori matematika baru. Hal ini mungkin hanya merupakan teori tambahan atau mungkin menggolongkan teori-teori sebelumnya yang lebih besar, teori yang lebih umum. Yang bergerak ke arah peningkatan abstraksi dan umum, seperti dalam kasus ini, adalah faktor utama dalam restrukturisasi pengetahuan matematika. Untuk teori-teori umum yang semakin berlaku lebih luas, dan beberapa yang lebih khusus, teori- teori yang sudah ada sebelumnya bisa jatuh di dalam pola-pola struktural yang lebih umum. Contoh, disediakan oleh Cantor, teori AOS set, yang awalnya tampak sangat khusus dan sulit dimengerti. Sejak diperkenalkan, karena umum meluas, sehingga mencakup sebagian besar teori-teori matematika lain dan memberi mereka dirumuskan dan bersatu.
    Ini tentang asal-usul pengetahuan matematika memberikan ide tentang mekanisme yang mendasari perkembangan sejarah matematika. Pada waktu tertentu, isi yang ada sifatnya objektif pengetahuan matematika sedang diformulasikan dan dikembangkan sebagai hasil dari kontribusi baru, yang mungkin baik restrukturisasi pengetahuan yang ada atau hanya menambahnya.
    Bagi kecukupan, konstruktivisme sosial harus memperhitungkan efektivitas yang tidak masuk akal matematika dalam sains (Wigner, 1960). Hal ini dapat menjelaskan penerapan matematika pada dua alasan: (1) matematika didasarkan pada bahasa alamiah empiris dan (2) semi-empirisme matematika berarti yang tidak begitu berbeda dari ilmu pengetahuan empiris.
    Berawal dari semua, kami telah berpendapat bahwa pengetahuan matematika berada pada aturan dan kesepakatan-kespakatan bahasa alam. Kita telah melihat bahwa banyak kosakata matematika langsung diterapkan ke dunia pengalaman, dan aturan-aturan bahasa alamiah termasuk kesepakatan tentang bagaimana mengaplikasikan istilah-istilah ini. Banyak milik ini baik untuk matematika dan ilmu pengetahuan, dan memungkinkan kita untuk menggunakan klasifikasi dan kuantifikasi dalam menggambarkan kejadian dan objek di dunia (melalui menduga penjelasan). Sehari-hari dan penggunaan ilmiah bahasa alami adalah fitur kunci dari peran, dan dengan menggunakan konsep-konsep matematika tertanam memainkan bagian penting. Jadi dasar bahasa matematika, serta bahasa yang lain melakukan fungsi-fungsi matematika, memberikan interpretasi hubungan dengan fenomena dunia nyata. Dengan cara ini para akar bahasa memberikan matematika dengan aplikasi.
    Kedua, kami telah menerima Lakatos mengatakan bahwa matematika adalah kuasi-empiris-deduktifhypothetico sistem. Dalam hal ini, kita mengakui yang lebih dekat hubungan antara matematika dan ilmu pengetahuan empiris daripada kemungkinan kemutlakan filsafat tradisional. Hal ini tercermin dalam kemiripan dekat antara teori matematika dan teori ilmiah, yang kita amati. Kedua jenis teori relatif ini mengandung pengamatan istilah dan teoretis, yang dihubungkan oleh sebuah hubungan. BahkanQuine (1960) melihat mereka terjalin baik sebagai satu, terhubung kain. Dalam pandangan struktural yang menyerang analogi ini, tidaklah mengherankan bahwa beberapa struktur umum dan metode matematika yang diimpor ke teori fisika. Memang, banyak dari teori empiris sepenuhnya dinyatakan dalam bahasa matematika. Demikian pula, tidak mengherankan bahwa banyak masalah ilmiah, dirumuskan dalam bahasa matematika, menjadi stimulus bagi penciptaan matematika. Kebutuhan untuk acara model yang lebih baik dari dunia, kemajuan ilmu pengetahuan, memberikan pertumbuhan matematika kedepan. Akibatnya pemupukan silang dan interpretasi ilmu pengetahuan dan matematika adalah fakta,kemutlakan filosofis sebagai pemisah antara apriori dan pengetahuan empiris yang telah tertutupi dan membingunkan. Dalam asal-usulnya dan sepanjang perkembangannya, matematika telah mempertahankan kontak dengan dunia fisik dengan pemodelan itu, sering kali dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan empiris. Selain itu, kekuatan yang mengarah pada generalisasi dan integrasi itu pengetahuan matematika, jelaskan di atas, dapat pastikan bahwa kontak dan pengaruh dunia empiris pada matematika tidak hanya marjinal. Teori-teori yang berlaku dalam matematika yang termasuk dalam teori-teori yang lebih umum, seperti matematika dibatasi dan dibuat ulang. Dengan ini berarti, penerapan matematika meluas ke pusat teori matematika abstrak, dan bukan hanya orang-orang pada pinggiran.
    Secara keseluruhan, penerapan pengetahuan matematika ditopang oleh hubungan erat antara matematika dan ilmu pengetahuan baik sebagai badan pengetahuan dan sebagai bidang penyelidikan, metode berbagi dan masalah. Matematika dan ilmu pengetahuan keduanya konstruksi sosial, dan seperti semua pengetahuan manusia mereka terhubung dengan fungsi bersama, penjelasan pengalaman manusia dalam konteks fisik (dan sosial) dunia.
    Penjelasan konstruktivis sosial pengetahuan matematika yang berpotensi memenuhi kriteria kecukupan akan filsafat matematika, karena pengetahuan membicarakan, ontologi, aplikasi dan praktik. Bagaimanapun, sejumlah kritikan dan beberapa penjelasan, dan ini harus diantisipasi dan dijawab.

    Matematika adalah Sembarang dan Relatif
    Pertama-tama, ada masalah yang relativisme pengetahuan matematika dan kebenaran. Jika, seperti yang dibantahan, kebenaran matematika didasarkan pada kesepakatan sosial, maka keduanya berubah-ubah dan relatif. Dikatakan beubah-ubah karena berpijak pada keyakinan yang beubah-ubah, praktek dan kesepakatan. Dikatakan relatif karena bersandar pada keyakinan satu kelompok manusia. Akibatnya tidak ada kebutuhan untuk kelompok manusia lain, apalagi makhluk-makhluk cerdas lain di alam semesta, untuk menerima perlunya pengetahuan matematika, yang hanya memegang relatif terhadap budaya tertentu pada periode tertentu.
    Untuk menjawab ini, saya ingin mempertanyakan dua pengandaian. Yang pertama, gagasan bahwa kesepakatan bahasa dan matematika adalah berubah- ubah dan ditangguhkan, dan kedua, kesalahpahaman bahwa logika matematika dan pengetahuan yang diperlukan dan tidak ditangguhkan.

    Kesembarangan
    Kesembarangan matematika, dalam uraian yang diberikan, berdasarkan kenyataan bahwa pengetahuan matematika didasarkan pada kesepakatan dan aturan linguistik. Tidak ada keharusan di balik aturan ini, dan mereka bisa berkembang secara berbeda. Ini tak terbantahkan. Tapi kenyataannya tetap bahwa bahasa beroperasi dalam batasan-batasan yang ketat diberlakukan oleh realita dan komunikasi interpersonal. kesepakatan bahasa dapat dirumuskan secara berbeda, tetapi bahasa bermaksud memberikan fungsi deskripsi sosial sehingga tetap konstan. Aturan dan kesepakatan bersama dari bahasa adalah bagian dari teori empiris yang tidak dibuat-buatdalam realita dan kehidupan sosial. Jadi, meskipun setiap simbol dalam bahasa alamiah adalah sembarang, sebagai pilihan tanda-tanda yang sembarang juga harus mempunyai hubungan antara realitas dan keseluruhan model itu, sehinggan bahasa tidak menetapkan lagi hal sembarangan. Meskipun pemodelan tersebut mungkin berfungsi bahasa secara keseluruhan, ia menyediakan alasan tersendiri yang penting untuk bahasa yang tetap berfungsi viably. Untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, beberapa aturan logika bahasa yang diperlukan. Sebagai contoh, White (1982) berpendapat bahwa prinsip kontradiksi diperlukan untuk setiap pernyataan yang akan dibuat dengan menggunakan bahasa. Untuk prinsip dalam operasi akan dibuatkan cara penyangkalan. Dengan pernyataan diperintah oleh penyangkalan. Dalam beberapa bahasa menggunakan prinsip yang tidak ketat untuk tujuan tertentu, seperti menggambarkan seorang dewa. Namun sulit untuk berpendapat bahwa fungsi bahasa viably tanpa aturan semacam itu. Jadi meskipun banyak bahasa yang perumusan peraturannya dan kebersamaan dapat berubah-ubah secara rinci, namunkarena kebutuhan akan kelangsungan hidup yaitu mengurangi ruang lingkup perubahan bahasa yang kurang penting. Sebagai contoh, perbedaan antara bahasa alam daerah menunjukkan perubahan dalam formulasi mereka.

    Relavatism
    Dengan mengadopsi secara objektif definisi konstruktivisme sosial maka akan membuka tuduhan relativisme. Artinya, hanya pengetahuan dari suatu kelompok tertentu berlaku pada waktu tertentu. Hal ini benar, tetapi banyak yang membuat kritikan membuang pernyataan ini. Sebagaimana telah kita lihat, matematika melalui bahasa harus memberikan gambaran yang layak aspek empiris dan realitas sosial. Jadi relativisme matematika dikurangi oleh bantahan melalui aplikasi. Dengan kata lain, baik matematika maupun bahasa sangat dibatasi oleh kebutuhan untuk menggambarkan, mengukur dan memprediksi peristiwa dalam dunia fisik dan manusia secara efektif. Selain itu, matematika dibatasi oleh pertumbuhan dan perkembangannya walaupun logika batin bersifat dugaan, bukti dan bantahan-bantahan, yang dijelaskan di atas. Jadi matematika bukan hanya memiliki kaki yang berakar pada realitas, tetapi bagian atasnya harus bertahan pada prosedur yang ketat dengan pembenaran publik dan kritik, berdasarkan penerapan secara menyeluruh dari prinsip -prinsip. Demikian pengetahuan matematika adalah pengetahuan relativistik bahwa objektivitas didasarkan pada kesepakatan sosial. Tetapi relativisme tidak membuat sama atau dipertukarkan dengan sistem sosial lain, kecuali mereka memenuhi dua kriteria yang sama.
    Kritik terhadap kemungkinan relativisme dalam matematika menyatakan bahwa alternatif matematika atau logika adalah tidak dapat di bayangkan, sehingga hal yang perlu ditegaskan adalahstatus matematika dan logika. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apa alternatif lain dari matematika(atau logika) seperti? Bloor (1976) mengajukan pertanyaan ini, dan menggambarkan jawabannya dengan gagasan jumlah alternatif, kalkulus, dan sebagainya dari sejarah matematika. Seorang kritikus menjawab bahwa meskipun konsep kita telah berevolusi dan berubah sepanjang sejarah,tetap terdapat beberapa langkah atau solusi yang diperlukan gagasan-gagasan terbaru. Jika aspek teleologis diragukan maka pernyataan ini diabaikan, maka itu perlu untuk menunjukkan secara simultan alternatif untuk matematika, untuk menjawab kritikan. Namun pertanyaan lebih lanjut dipertanyakan: bagaimana berbeda tidak matematika perlu alternatif dalam menghitung sebagai alternatif (dan dengan demikian untuk menyangkal bantahan keunikan)?
    Jawaban yang saya usulkan adalah bahwa matematika alternatif (atau logika) yang didasarkan pada konsep-konsep yang didefinisikan secara berbeda, dengan berbagai cara untuk membangun kebenaran, dan menghasilkan kerangka yang sangat berbeda dari kebenaran. Selain itu, jika alternatif ini diperhatikan, harus ada badan terhormat matematikawan yang mematuhi alternatif itu, dan yang menolak matematika standar. Ini, dalam pandangan saya, adalah karakterisasi yang cukup kuat dari bentuk alternatif matematika. Salah satunya, tidaklah sulit untuk memenuhi kesempurnaanintuisi matematika sesuai dengan persyaratan. Konsep intuisi dari sambungan logika tidak , di sana ada , dengan konsep diset , menyebar dan kontinum sangat berbeda dalam makna dan dalam matematika logis dan hasil dari konsep klasik yang sesuai, di mana mereka ada. Intuisionis aksioma dan prinsip- prinsip pembuktian juga berbeda, dengan penolakan terhadap Hukum klasik Dikecualikan tengah, ~ P P , dan ~ (x)-A (Ex)A . Intuisionis matematika memiliki kerangka sendiri kebenaran termasuk sejumlah kekontinuan, Fan dan bar Teorema Teorema, yang tidak muncul dalam matematika klasik, serta menolak sebagian besar matematika klasik. Akhirnya, sejak masa Brouwer, intuisionisme selalu memiliki kader dihormati pemeluk matematikawan, berkomitmen untuk intuisionisme (atau konstruktivisme) dan yang menolak matematika klasik (. Misalnya A. Heyting, H. Weyl, E. Uskup, A. Troelstra) . Dengan demikian, ada alternatif matematika yang mencakup logika alternatif.
    Abad ini telah terjadi ledakan alternatif lain atau menyimpang logika termasuk banyak bernilai logika, bernilai logika Boolean, logika modal, deontic logic dan logika kuantum. Ini menunjukkan bahwa logika lebih lanjut alternatif untuk tidak hanya mungkin, tapi ada. (Namun logika menyimpang ini mungkin tidak memenuhi kriteria terakhir yang diberikan di atas, yaitu kepatuhan sekelompok matematikawan, yang menolak logika klasik).
    Contoh klasik intuisionisme menunjukkan bahwa matematika tidak perlu dan tidak unik, karena alternatif tidak hanya mungkin, tapi itu ada. Ini juga menunjukkan bahwa. Ada alternatif logika klasik. Contoh ini juga menunjukkan relativisme matematika, tunduk pada batasan-batasan yang dibahas di atas, karena ada dua komunitas matematika (klasik dan intuisionis) dengan mereka sendiri, menentang gagasan-gagasan dan standar kebenaran dan bukti matematika. Dalam bab-bab sebelumnya pandangan absolutis matematika sebagai kerangka kekal dan kebenaran perlu dibantah, dan pandangan fallibilist berpendapat di tempatnya. Ini melemahkan bantahan kebutuhan untuk matematika. Ini sekarang telah dilengkapi dengan contoh asli alternatif, menghilangkan kemungkinan adanya bantahan keunikan atau kebutuhan untuk matematika

    Kegagalan Konstrukfisme untuk Menentukan sembarang Kelompok Sosial
    Pernyataan konstruktivisme sosial yang diberikan mengacu pada penerimaan sosial , konstruksi sosial dan objektivitas sebagai sosial. Namun hal itu gagal untuk menentukan dengan cara apa pun kelompok-kelompok sosial yang terlibat, dan untuk istilah sosial memiliki makna, itu harus mengacu pada kelompok tertentu. Ada juga tersembunyi masalah-masalah sekunder seperti bagaimana orang tahu kapan sesuatu yang diterima oleh komunitas matematika? Apa yang terjadi ketika ada konflik dalam komunitas ini? Apakah ini berarti bahwa matematika baru melayang-layang di batas antara pengetahuan subjektif dan objektif?
    Untuk menjawab poin utama pertama: itu tidak pantas dalam pernyataan filosofis untuk menentukan apa pun kelompok-kelompok sosial atau dinamika sosial, bahkan saat mereka menimpa penerimaan pengetahuan objektif. Untuk hal ini adalah sejarah dan sosiologi, dan khususnya sejarah matematika dan sosiologi pengetahuan. Bantahan bahwa ada mekanisme sosial yang terlibat dalam objektivitas dan dalam penerimaan pengetahuan matematika, dan analisis konseptual dan elaborasi dari willayah tetap dalam filsafat. Konsep yang penting dari sejarah dan sosiologi untuk mengembangkan teori ini, berharga karena hal ini mungkin, mengambil diskusi di luar filsafat matematika. Jadi ini bukan kritik yang valid.
    Kritik yang tidak sama terhadap beberapa masalah konstruktivisme sosial. Jika ada dukungan sosial pada waktu yang bersamaan dari berbagai pengetahuan matematika, seperti yang dibahas dalam bagian A di atas, maka terdapat pengetahuan matematika yang objektif.
    Pengetahuan matematika transisi dari pengetahuan subjektif ke objektif dalam hal ini bermanfaat akan dijelaskan berikut. Itu perlu diperjelas karena ada suatu keadaan di antaranya yang bukan Subjektif,  pengetahuan matematika berada dalam pikiran seseorang, mungkin didukung oleh perwakilan eksternal. Bagi individu mengembangkan pengetahuan subjektif sering melakukannya dengan bantuan visual, lisan atau representasi lain. Representasi seperti itu sudah berarti bahwa ada aspek umum yang mendukung pengetahuan subjektif individu. Ketika sepenuhnya terwakili dalam wilayah publik, maka tidak ada lagi pengetahuan subjektif seperti itu, meskipun berasal dari individu yang memiliki pengetahuan subjektif yang sesuai. Karena pengetahuan subjektif berada pada individu yang sesuai maka tidak perlu memiliki pengetahuan subjektif baik. Namun mereka tetap memiliki potensi untuk mengarah ke yang terakhir, ketika mereka diterima secara sosial.
    Tegasnya, representasi pengetahuan umum sebelum pengetahuan matematika tidak sama sekali, karena, hanya terdiri dari simbol-simbol, dan makna dan pernyataan harus diproyeksikan ke dalam matematika dengan memahami subjek. Sedangkan pengetahuan adalah bermakna. Hal ini konsisten dengan pandangan yang diadopsi dalam teori komunikasi, sinyal yang harus dikodekan, dikirimkan dan kemudian diterjemahkan. Selama fase transmisi, yaitu ketika kode, sinyal tidak memiliki makna. Hal ini harus dibangun selama decoding.
    Akan lebih mudah untuk mengadopsi saat ini karena publik mengidentifikasi penggunaan representasi pengetahuan objektif (kode sinyal) dengan pengetahuan itu sendiri, dan berbicara seolah-olah representasi informasi dan makna yang terkandung. Seperti makna atribusi hanya dapat berfungsi jika diasumsikan bahwa masyarakat yang sesuai decoding berbagi pengetahuan. Dalam kasus pengetahuan matematika ini terdiri dari alam pengetahuan bahasa dan pengetahuan tambahan matematika. Maka ini adalah beberapa ke pengandaian penting tentang kelompok-kelompok sosial yang tergantung konstruktivisme sosial.

    Konstruktivisme Sosial mengasumsikan Bahasa Alam Unik
    Konstruktivisme sosial menggunakan pembenaran konvensionalis untuk pengetahuan matematika. Ini berasumsi bahwa pengetahuan matematika berada pada bahasa alam yang unik, bertentangan dengan kenyataan bahwa lebih dari 700 bahasa alam yang berbeda diketahui, banyak diantaranya dengan dasar sangat berbeda dengan bahasa Inggris Meskipun dapat dikatakan bahwa konsep-konsep matematika dan kebenaran tidak bergantung pada fitur struktural bahasa Inggris, ini ditemukan juga di Eropa dan beberapa bahasa lain, tetapi tidak harus dalam semua bahasa alam. Ini memiliki dua konsekuensi besar, yang sangat penting konstruktivisme sosial. Pertama, jika matematika didasarkan pada bahasa-bahasa dengan logika berbeda secara signifikan dan fitur struktural, maka alternatif (yaitu berbeda) matematika dapat terjadi. Ini bukan masalah bagi konstruktivisme sosial. Kedua, penutur bahasa asli yang bahasanya berbeda jauh dari Inggris, Perancis, dll, dalam logika dan fitur struktural baik harus memperoleh bahasa kedua, atau merestrukturisasi pemahaman mereka sendiri, dalam rangka untuk belajar matematika Barat akademik. Kemudian lagi tampaknya masuk akal, dan bahkan ada beberapa bukti untuk mendukung ini. Bahkan bukti seperti relativisme budaya memperkuat daripada melemahkan kasus konstruktivisme sosial.

    Keberatan-keberatan yang muncul Sebelumnya
    Penerimaan Sosial Berbeda dengan Objektivitas.
    Pernyatan di atas telah memberikan pengetahuan objektif matematika, tetapi objektivitas telah ditafsirkan ulang ke arti umum secara sosial, dalam cara Bloor (1984) jadi memang untuk mengatakan bahwa objektivitas (dipahami secara sosial) digunakan untuk mengartikan sesuatu yang berbeda. Dalam pemahaman penafsiran sosial berikut terdapat perbedaan yaitu;Pertama, sifat penting objektivitas, seperti sifat umum dan pemastian, yang dipertahankan. Kedua, keberadaan objektif dalam matematika berarti konsisten postulable. Ontologis yang sangat besar konsekuensi dari definisi ini untuk matematika mendistorsi makna objektivitas jauh melampaui rasa yang ada seperti objek . Ketiga, penafsiran sosial unik memberikan penjelasan tentang hakikat pada objektivitas dalam matematika.

    Konstruktivisme sosial tidak cukup untuk menjamin pengetahuan matematis.
    Memang benar bahwa tulisan yang diberikan berfokus pada asal-usul pengetahuan,, tetapi tidak mengabaikan untuk menjelaskan pembenaran pengetahuan matematika, meskipun dalam melakukan hal itu tantangan catatan mutlak. Pengetahuan matematika dibenarkan sebagai pengetahuan.
    Dalam kasus pengetahuan yang diperoleh, melibatkan bukti. Beberapa istilah dasar dan dasar logika dan bukti yang dibenarkan dalam hal bahasa alam, menggunakan argumen sifat tradisional. Masalah dengan pembenaran yang terakhir ini adalah bahwa bahasa alami tidak benar-benar berisi semua kebenaran dan aturan dasar matematika dan logika. Melainkan mewujudkan makna dasar, aturan dan kesepakatan, yang halus dan bentuk diuraikan, memberikan dasar kebenaran dan aturan logika matematika. pernyataan yang ditawarkan adalah unggul dalam ruang lingkup bahwa filsafat tradisional matematika, karena memberikan dasar yang objektif, menjamin asumsi-asumsi dasar tersebut.

    Konstruktivisme sosial mencampur-adukkan konteks penemuan dan pembenaran dan melakukan kesalahan psychologism.
    Dengan menantang asumsi luas bahwa urusan filsafat dengan konteks pembenaran dan bukan penemuan, konstruktivisme sosial tampaknya membuka diri untuk menerima bantahan. Tulisan yang diberikan mengakui pentingnya konsep-konsep ini dengan hati -hati dan membedakan antara dua konteks, dan juga antara berbagai keprihatinan yang tepat filsafat, sejarah, psikologi dan sosiologi. Namun dikatakan bahwa pada dasar kecukupan psikologi matematika harus di hitung untuk pengembangan dan asal-usul pengetahuan matematika, meskipun dari perspektif filosofis, seperti yang dianalogikan dalam filsafat ilmu pengetahuan. Hal ini juga berpendapat bahwa pengetahuan subjektif yang sah berdasarkan penyelidikan filosofis, dan tidak perlu mengarah pada psychologism. Pemikiran dan pengetahuan subjektif harus disertakan dalam pernyataan konstruktivis sosial karena itu merupakan sumber pengetahuan matematika baru. Alam itu harus diperlakukan secara filosofis, dan tidak secara psikologis, untuk menghindari psychologism.


    Leave a Reply

    Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

  • Copyright © - Setetes Ilmu

    Setetes Ilmu - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan