- Home>
- Artikel Done tembus Koran Lokal
Posted by : Chachacino
Selasa, 15 November 2016
Evaluasi Ujian Nasional di Indonesia
Oleh : Annisa Nino Rahman
Ujian Nasional (UN) jenjang SMA, SMP, dan SD atau sederajat sudah
berlalu, bahkan belum lama ini hasil UN SMA atau sederajat telah diumumkan
secara resmi oleh setiap institusi jenjang menengah atas. Meski sejak tahun 2015
UN tak lagi dijadikan sebagai tolak ukur kelulusan, namun masih banyak siswa
yang menghalalkan segala daya dan upaya guna menyongsong Ujian Nasional
ini.
Pada
hakikatnya, pendidikan ditempuh tidak dilihat dari seberapa baik hasil yang didapat
namun seberapa mampu siswa memahami tiap sendi dari pendidikan tersebut.
Kendati begitu, fakta yang terjadi justru kebanyakan orangtua dan guru hanya
menuntut nilai yang tinggi saja tanpa mau tahu apakah anak memahami dan
menguasai pelajaran tersebut. Sehingga paradigma siswa yang terbentuk hanyalah
mengejar nilai tinggi, mengerjakan pekerjaan rumah (PR) lebih sering dikerjakan
di sekolah, itupun dengan melihat hasil pekerjaan teman atau dengan kata lain menyontek.
Padahal pekerjaan rumah sengaja diberikan untuk mengasah kemampuan yang
dimiliki siswa serta mengulang kembali pelajaran yang telah disampaikan di
kelas.
Pada
akhirnya, ketika para siswa dihadapkan dengan final exam seperti Ujian
Sekolah dan Ujian Nasional, mereka cenderung berusaha sekuat tenaga untuk lolos
tanpa memusingkan bagaimana mengevaluasi pelajaran yang telah mereka lewati
selama tiga tahun terakhir. Fenomena-fenomena yang terjadi pra-UN memang sudah
menjadi rahasia publik dan diketahui oleh khalayak, tak menampik bila
kita sering menyebutnya serangan fajar. Serangan fajar yang dianggap sebagai bala bantuan,
tepat di hari UN berlangsung di waktu fajar atau subuh. Hal tersebut umumnya biasa
digunakan para siswa yang meminta oknum pember kunci jawaban yang mampu
menyokong mereka dalam mengisi lembar jawaban UN secara instan. Sebagaimana yang
dilansir dalam (Liputan
6, 7/04/2016) “Tiga pengedar kunci jawaban Ujian
Nasional (UN) di Tegal, Jawa Tengah, ditangkap kepolisian. Ketiganya tertangkap
tangan saat sedang menjual kunci jawaban UN kepada dua siswa sebuah SMA Negeri.”
Para siswa cenderung mengandalkan kunci jawaban yang mereka beli dengan
harga yang tidak murah, umumnya kisaran 5 juta hingga belasan juta. Darimanakah
mereka mendapat uang sebanyak itu? Menurut pengalaman yang saya dapati saat
duduk di bangku sekolah menengah atas, para siswa yang tidak mempunyai
kepercayaan diri dalam melalui UN biasanya berkumpul bersama membuat sebuah
grup chat satu angkatan bahkan intra sekolah kemudian menyusun rencana
dalam pembelian kunci jawaban tersebut.
Pada saat itu, saya pun diminta ikut kedalamnya,
namun saya menolak. Saya memang tidak begitu tahu secara detail, karena saya
tidak terlibat dan menilik langsung grup tersebut. Namun berdasarkan cerita yang dipaparkan
kawan saya dimana ia turut bergabung dalam grup tersebut, mereka bersama-sama
mengumpulkan uang (patungan) guna membeli kunci jawaban dari oknum. Selanjutnya di pagi harinya salah satu leader
dari kumpulan tersebut mengambil kunci dari pemasok lalu mendistribusikannya
melalui foto yang diunggah via grup chat tersebut. Bahkan yang saya
dengar, ada pula wali murid yang mengetahui akan pembelian kunci jawaban UN
tersebut dan justru mendukung pembelian kunci jawaban bagi sang anak.
Fenomena
seperti ini sudah ramai deprbincangkan, jika UN hanya dianggap sepele itu dan
hanya dipandang “ahh, tenang ada kunci jawaban andalan! jika kamu mau lulus
yaa sediakan saja uang yang cukup! Tak perlu belajar mati-matian”. Jika
tiap siswa dan orang tua mempunyai pandangan seperti itu, masihkah penting diadakannya pendidikan selama tiga tahun di jenjang SMA atau sederajat, toh
hanya membuang waktu bukan? Sedangkan UN dapat ditempuh dengan mudah tanpa “belajar
keras”, yang hanya bermodalkan secarik kertas berisi kunci jawaban yang ditulis
pada malam sebelumnya lalu tepat di hari berlangsungnya ujian, hanya perlu
menyelipkan secarik kertas tersebut di tempat strategis dan aman bagi mereka.
Ketika proses yang dilewati sudah salah,
maka kedepannya pun begitu. Rata-rata dari mereka, melalui Ujian Nasional tidak
berdasarkan asahan kemampuan belajar selama tiga tahun terakhir, mereka
cenderung mengambil jalan pintas yang lebih mudah, yaa membeli kunci jawaban. Alhasil?
proses belajar mereka selama tiga
tahun untuk apa? Jika evaluasi hasil
pembelajaran tiga tahun terakhir dilewati dengan mudahnya tanpa usaha sendiri. Para
siswa cenderung tak tahu
bagaimana menghargai jerih payahnya belajar menembus UN dengan murni dengan pemikiran
pribadi dan hasil belajar sendiri. Maka mereka pun tak tahu cara mengapresiasikan kelulusan
yang nantinya diperoleh tersebut. Jangankan kelulusan, Seusai Ujian Nasional saja, tepat di hari terakhir
berlangsungnya UN banyak di antara mereka hura-hura, corat-coret baju
seragam, balap-balapan, hingga bikini party. Bahkan kini, berdasarkan
berita yang beredar, tradisi perayaan selesainya UN makin aneh tak karuan. Siswa perempuan merobek rok ketat mereka
hingga paha, baju di penuhi coretan lalu berfoto ria bersama teman lelakinya
dan mempublish foto-foto memalukan tersebut ke jejaring sosial. Menurut mereka
hal tersebut keren, kekinian atau apalah itu, namun apakah patut sosok generasi
emas penerus bangsa bertingkah seperti ini? Mereka mengekspresikan perasaan
suka cita mereka melalui hal sedemikan? Hal yang membuat kita yang
menyaksikannya geleng-geleng kepala, dan tak tahu lagi harus melakukan apa.
Dalam kasus-kasus seperti ini peran
orangtua/wali sangat dibutuhkan, mereka yang menjadi pembimbing dan pengarah
dituntut mampu menanggulangi apa yang dilakukan anaknya sebelum dan selepas UN,
namun pasalnya kebanyakan orangtua cenderung apatis karena terlalu sibuk dengan
urusan bisnis mereka, para orangtua terkesan memberikan seluruh wewenang dan
tanggung jawabnya terkait pembelajaran anaknya hanya kepada sekolah dan guru.
Namun pada kenyataannya, mayoritas guru lepas tangan ketika si anak sudah
melalui ujian nasional.
Lalu siapakah yang bertanggung jawab akan
para siswa yang notabenenya terlalu kelewat batas ini? Menteri pendidikan kah?
Presiden kah? Perlu adanya perbaikan paradigma pada setiap pelajar Indonesia,
walaupun memang tak semua siswa bertingkah aneh seperti ini, namun ada baiknya
dilakukan berbagai tindakan preventif
agar kejadian seperti ini tak terulang kembali. Dan disinilah peran orangtua serta guru dibutuhkan, terutama orangtua
selaku orang dewasa yang ada dirumah perlu memantau bagaimana sang anak
bersikap dan memberikan arahan sebagaimana
mestinya.
Proses tidak akan menghkhianati hasil
yang diperoleh,oleh karena itu Ujian Nasional pun perlu dilaksanakan dengan sebersih
mungkin, karena ujian ini adalah ajang pengukuran kemampuan diri peserta didik,
urusan hasil? Itu urusan kesekian. Ujian Nasional memang merupakan salah satu momok
yang menakutakan bagi siswa tahun akhir, namun hal ini dapat diatasi dengan mengasah
diri, mengulang pelajaran selama tiga tahun terakhir, berdoa serta berserah diri
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena UN bukanlah sebagai formalitas lulusnya seorang
siswa dari pendidikan menengah atas, namun UN merupakan sarana kita menilik seberapa
baik pendidikan nasional yang ada di Indonesia.
Bukti korannya lihat disini, proof
Bukti korannya lihat disini, proof